MATERI KULIAH HUKUM
PERKAWINAN
PENULIS
TITO ANGGA PRANATA
NIM
080710101123
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
JEMBER
A. PENDAHULUAN
1. Dasar Hukum Perkawinan
di Indonesia
Dasar hukum perkawinan
di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain adalah:
a. Buku I dari Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt), yaitu Bab IV sampai dengan Bab XI.
b. Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
c. Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
d. Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
e. Peraturan Pemerintah No.
45 Tahun 1990 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
f. Instruksi Presiden No. 1
tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1 -170 KHI).
2.
Pengertian Perkawinan
Menurut Pasal 1
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam
ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHPdt, tidak memberikan
pengertian mengenai perkawinan. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2
disebutkan, bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Disamping pengertian
tersebut diatas, terdapat pula pengertian perkawinan menurut beberapa sarjana,
yaitu:
a. Menurut Prof.
Subekti, S.H.: Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki
dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.(Subekti,
1997; 23)
b. Menurut Prof. Ali
Afandi, S.H.: Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.(Ali Afandi,
1997; 94)
c. Menurut Prof. Mr.
PaulScholten: Perkawinan adalah hubung-an hukum antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh
negara.(R.Soetojo P, 1985; 31)
d. Menurut Prof Dr. R.
Wirjono Prodjodikoro, S.H.: Perkawinan yaitu suatu hidup bersama dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang
termasuk dalam peraturan Hukum Perkawinan.(Wirjono P, 1990; 7)
e. Menurut Prof.
Soediman Kartohadiprodjo, S.H.: Perkawinan adalah
suatu
hubungan antara orang wanita dan pria yang bersifat abadi.(Soediman K, 1994;
36)
f. Menurut K. Wantjik
Saleh, S.H: Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami-isteri. (K.Wantjik Saleh, 1996; 14)
Dari uraian definisi di
atas, maka dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah
suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk
membentuk suatu keluarga dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan yang
dimaksudkan dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai
syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum
bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.
3.
Bentuk-bentuk Perkawinan
Pada dasarnya,
bentuk-bentuk perkawinan dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
a.
Dilihat dari segi jumlah suami atau isteri
Ditinjau
dari segi jumlah suami atau isteri, maka bentuk perkawinan terdiri atas:
1) Perkawinan
Monogami ialah perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita. Bentuk perkawinan ini
paling ideal dan sesuai dengan ajaran agama serta Undang-Undang Perkawinan.
2) Perkawinan Poligami
ialah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita ataupun
perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria. Dengan demikian,
bentuk perkawinan ini dapat dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu:
a) Poligini, yaitu perkawinan antara seorang pria
dengan lebih dari satu wanita.
b) Poliandri, yaitu perkawinan antara seorang
wanita dengan lebih dari satu pria. Misalnya pada orang Eskimo, orang Markesas
di Oceania, orang Philipina di Pulau Palawan dan sebagainya.
b.
Dilihat dari segi asal
suami-isteri
Apabila ditinjau dari
segi asal suami-isteri, maka bentuk perkawinan terdiri atas:
1)
Perkawinan Eksogami
ialah perkawinan antara pria dan wanita yang berlainan suku dan ras. Misalnya:
masyarakat di Tapanuli, Minangkabau dan Sumatera Selatan.
2)
Perkawinan Endogami
ialah perkawinan antara pria dan wanita yang berasal dari suku dan ras yang
sama. Misalnya: masyarakat Toraja.
3)
Perkawinan Homogami
ialah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan sosial yang sama.
Misalnya: orang kaya cenderung kawin dengan anak orang kaya pula, suku Batak
cenderung kawin dengan anak dari keluarga Batak pula, dan sebagainya.
4)
Perkawinan Heterogami
ialah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan sosial yang berlainan.
Misalnya: orang keturunan bangsawan menikah dengan orang biasa, orang Batak
menikah dengan orang Sunda.
Disamping bentuk-bentuk
perkawinan di atas, terdapat pula bentuk-bentuk perkawinan lainnya, yaitu:
a.
Perkawinan Cross
Cousin
Ialah perkawinan antara
saudara sepupu, yakni anak saudara laki-laki ibu (anak paman) atau anak dari
saudara perempuan ayah. Misalnya: di daerah Batak (pariban), dan
sebagainya.
b.
Perkawinan Parallel Cousin
Ialah perkawinan antara
anak-anak dari ayah mereka bersaudara atau ibu mereka bersaudara.
c. Perkawinan Eleutherogami
Ialah seseorang bebas
untuk memilih jodohnya dalam perkawinan, baik itu dari klen sendiri maupun
dari klen lainnya. Misalnya: pada masyarakat di Jawa, Sumatera Timur, Kalimantan,
Minahasa, Ternate, Bali dan sebagainya.
B.
PERKAWINAN MENURUT
KUHPdt
1.
Asas Monogami dalam
Perkawinan
.
Hukum
Perkawinan yang diatur dalam KUHPdt berasaskan monogami dan berlaku mutlak. Artinya, setiap suami
hanya diperbolehkan mempunyai seorang isteri saja, begitu pula sebaliknya. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 yang memandang perkawinan hanya dalam
hubungan keperdataan
(Pasal 26 KUHPdt). Hal ini berarti, bahwa perkawinan
itu sah apabila telah dipenuhinya ketentuan hukum/syarat hukum. Sementara itu
dalam KUHPdt tidak memandang faktor keagamaan
sebagai syarat sahnya perkawinan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 81 nya, di
mana upacara keagamaan tidak boleh dilangsungkan sebelum perkawinan diadakan
dihadapan Pegawai Catatan Sipil. Di dalam KUHPdt, perolehan keturunan bukan
merupakan tujuan perkawinan.
2.
Syarat-syarat Sahnya
Perkawinan
Menurut
Hukum Perdata Barat (KUHPdt), syarat sahnya perkawinan (syarat materil)
adalah:
a. Berlaku asas monogami
(Pasal 27);
b. Harus ada kata sepakat
dan kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal 28 );
c. Seorang pria sudah
berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29);
d. Ada masa tunggu bagi
seorang wanita yang bercerai, yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar
(Pasal 34);
e. Anak-anak yang belum
dewasa harus memperoleh izin kawin dari kedua orang tua mereka (Pasal 35).
Sementara itu, mengenai izin kawin ini diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut
ini:
1) Jika wali ini sendiri
hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali
pengawas (Pasal 36).
2) Jika kedua orang tua
telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka yang
memberikan izin ialah kakek-nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedangkan
izin wali masih pula tetap diperlukan (Pasal 37);
3) Anak luar kawin yang
belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin dari bapak dan/atau ibu
yang mengakuinya. Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah
pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas. Jika di antara orang-orang yang
harus memberi izin itu terdapat perbedaan pendapat, maka Pengadilan atas
permintaan si anak, berkuasa memberikan izin (Pasal 39);
4) Anak luar kawin namun
tidak diakui, selama belum dewasa, tidak diperbolehkan kawin tanpa izin dari
wali atau wali pengawas mereka (Pasal 40);
5) Untuk anak yang sudah
dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, masih juga diperlukan izin kawin dari
orang tuanya. Tetapi apabila mereka tidak mau memberikan izin, maka anak dapat
memintanya dengan perantaraan hakim (Pasal 42).
f.
Tidak
terkena larangan kawin (Pasal 30-33).
3.
Larangan Perkawinan
Mengenai
larangan perkawinan, di dalam KUHPdt ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang
antara:
a.
Mereka
yang bertaiian keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah atau
dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara laki-laki dan saudara
perempuan (Pasal 30);
b.
Ipar
laki-laki dan ipar perempuan; paman atau paman orang tua dan anak perempuan
saudara atau cucu perempuan saudara; atau antara bibi atau bibi orang tua dan
anak laki saudara atau cucu laki saudara (Pasal 31);
c. Kawan berzinahnya
setelah dinyatakan salah karena berzinah, oleh
putusan hakim (Pasal 32);
d. Mereka yang
memperbaharui perkawinan setelah pembubaran perkawinan terakhir jika belum
lewat waktu 1 tahun (Pasal 33).
7. Kuliah Ketujuh (K.7)
4.
Perjanjian Perkawinan
Janji-janji kawin tidak
menimbulkan hak untuk menuntut di mu-ka Hakim akan berlangsungnya perkawinan
dan menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga, akibat kecideraan yang
di-lakukan terhadapnya; segala persetujuan untuk ganti-rugi dalam hal ini
adalah batal (Pasal 58 ayat 1). Pada umumnya, seorang anak yang masih di bawah
umur (belum mencapai umur 21 tahun), tidak diperbolehkan bertindak sendiri dan
harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya, oleh undang-undang diadakan
pengecualiannya. Menurut Pasal 151 KUHPer, seorang anak yang belum dewasa yang
memenuhi syarat untuk kawin, diperbolehkan bertindak sendiri dalam menyetujui
perjanjian kawin, asalkan ia "dibantu" oleh orang tua atau
orang-orang yang diharuskan memberi izin kepadanya untuk kawin.
Setiap perjanjian kawin
harus dibuat dengan akte notaris sebelum perkawinan berlangsung, dan perjanjian
mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan (Pasal 147). Perjanjian
kawin ini mulai berlaku bagi pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, dimana pernikahan itu telah
dilangsungkan (Pasal 152). Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian kawin dengan
cara bagaimanapun tidak boleh diubah (Pasal 149).
Di dalam ketentuan Pasal
13 9-143 KUHPdt juga diatur mengenai hal-hal yang tidak dapat dimuat dalam
perjanjian kawin, yaitu:
a.
Tidak
boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
b.
Tidak
boleh melanggar kekuasaan suami sebagai kepala di dalam perkawinan.
c.
Tidak
boleh melanggar hak kekuasaan orang tua.
d.
Tidak
boleh melanggar hak yang diberikan Undang-Undang kepada suami atau isteri yang
hidup terlama.
e.
Tidak
boleh melanggar hak suami di dalam statusnya sebagai kepala persatuan
suami-isteri.
f.
Tidak
boleh melepaskan haknya atas legitieme portie (hak mutlak) atas warisan
dari keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari keturunannya.
g.
Jidak
boleh diperjanjikan bahwa sesuatu pihak harus membayar sebagian utang yang
lebih besar daripada bagian keuntungannya
h.
Tidak boleh diperjanjikan
dengan kata-kata umum, bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh
undang-undang luar negeri, adat kebiasaan, atau peraturan daerah.
5.
Pemberitahuan,
Pencatatan dan Pengumuman Perkawinan
Semua orang yang hendak
kawin, harus memberitahukan kehendak itu kepada Pegawai Catatan Sipil tempat
tinggal salah satu dari kedua pihak (Pasal 50). Pemberitahuan ini harus
dilakukan, baik sendiri maupun dengan surat-surat yang dengan cukup kepastian
memperlihatkan kehendak kedua calon suami-isteri, dan tentang pemberitahuan itu
oleh Pegawai Catatan Sipil harus dibuat sebuah akta (Pasal 51). Menurut Pasal
52 KUHPdt, sebelum perkawinan dilangsungkan, Pegawai Catatan Sipil harus
menyelenggarakan pengumumannya dengan jalan menempelkan sepucuk surat
pengumuman pada pintu utama daripada gedung dalam mana register-register
catatan sipil diselenggarakannya. Surat itu harus tetap tertempel selama 10
hari. Pengumuman tak boleh dilangsungkan pada hari Minggu atau hari Tahun Baru,
hari Paskah, hari Natal, dan hari Mikraj Nabi. Surat itu berisi:
a. Nama, umur, pekerjaan
dan tempat tinggal calon suami-isteri dan jika salah seorang atau keduanya
pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.
b. Hari,
tempat dan jam pengumuman berlangsung.
Kemudian, surat itu ditandatangani oleh Pegawai Catatan Sipil. Jika kedua calon
suami-isteri tak mempunyai tempat tinggal dalam daerah Pegawai Catatan
Sipil yang sama, maka pengumuman harus dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil
tempat tinggal masing-masing pihak (Pasal 53 KUHPdt). Pengumuman hanya berlaku
selama 1 bulan; apabila dalam waktu itu tidak dilangsungkan perkawinan, maka
perkawinan tidak boleh dilangsungkan lagi, untuk itu pengumuman harus diulang
sekali lagi (Pasal 57). Pada asasnya, suatu perkawinan dapat dibuktikan dengan adanya akta
perkawinan (Pasal 100).
6.
Pelaksanaan Perkawinan
Menurut Pasal 71 KUHPdt,
sebelum melangsungkan perkawinan, Pegawai Catatan Sipil harus meminta supaya
diperlihatkan kepadanya:
a.
Akta
kelahiran calon suami-isteri masing-masing.
b.
Akta
yang dibuat oleh pegawai catatan sipil tentang adanya izin kawin dari mereka
yang harus memberi izin, izin mana juga dapat diberikan dalam surat perkawinan
sendiri.
c.
Akta
yang memperlihatkan adanya perantaraan Pengadilan Negeri.
d.
Jika
perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus diperlihatkan akta perceraian, akta
kematian suami atau di dalam hal ke-tidakhadiran suami atau isteri yang dahulu,
turunan izin Hakim untuk kawin.
e.
Akta kematian segala
mereka yang sedianya harus memberikan izin kawin.
f.
Bukti,
bahwa pengumuman kawin tanpa pencegahan telah berlangsung di tempat, di mana
pengumuman itu diperlukan, ataupun bukti bahwa pencegahan yang dilakukan telah
digugurkan.
g.
Dispensasi kawin yang
telah diberikan.
h.
Izin bagi para perwira dan militer rendahan yang
diperlukan untuk kawin.
Pegawai
Catatan Sipil berhak menolak untuk melangsungkan perkawinan berdasar atas
kurang lengkapnya surat-surat yang diperlukan. Dalam hal demikian, pihak-pihak
yang berkepentingan dapat memajukan permohonan kepada hakim untuk
menyatakan bahwa surat-surat itu sudah mencukupi (Pasal 74). Perkawinan tak boleh
dilangsungkan sebelum hari kesepuluh setelah hari pengumumannya (Pasal 75).
Perkawinan harus
dilangsungkan dimuka umum, dihadapan Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal salah
satu dari kedua belah pihak, dan dengan dihadiri oleh dua orang saksi,
baik keluarga maupun bukan keluarga, yang telah mencapai umur 21 tahun dan
berdiam di Indonesia (Pasal 76). Untuk melangsungkan perkawinan, kedua calon
suami-isteri harus menghadap sendiri di muka Pegawai Catatan Sipil (Pasal 78).
7.
Pencegahan Perkawinan
Menurut ketentuan Pasal
61-65 KUHPdt, para pihak yang ber-hak mencegah berlangsungnya suatu perkawinan
adalah:
a.
Bapak atau ibu mereka.
b.
Kakek atau nenek.
c. Paman dan bibi mereka.
d. Wali atau wali pengawas.
e. Pengampu atau Pengampu
Pengawas.
f.
Saudara lak-laki atau saudara perempuan.
g. Suami
yang sudah cerai mencegah perkawinan bekas isterinya sebelum 300 hari lewat,
setelah pembubaran perkawinan.
h. Jawatan Kejaksaan.
Sebaliknya adanya alasan
pencegahan perkawinan, menurut Pasal 61 KUHPdt, disebabkan beberapa hal:
a.
Tidak
mengindahkan izin kawin dari orang tuanya.
b. Belum mencapai usia 30
tahun.
c. Salah satu pihak ditaruh
di bawah pengampuan, karena ketidaksempurnaan akal budinya.
d. Salah satu pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk kawin
e.
Jika
pengumuman kawin tidak telah berlangsung.
f.
Jika
salah satu pihak ditaruh di bawah pengampuan, karena tabiatnya yang boros dan
perkawinan mereka nampaknya akan membawa ketidakbahagiaan.
Pencegahan
perkawinan diadili oleh Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya
Pegawai Catatan Sipil yang harus melangsungkan perkawinan itu mempunyai tempat
kedudukannya (Pasal 66 KUHPdt).
8.
Pembatalan Perkawinan
Menurut Pasal 85 KUHPdt,
kebatalan suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh hakim, selanjutnya
menurut Pasal 86, kebatalan suatu perkawinan dapat dituntut oleh:
a. Orang yang karena
perkawinan lebih dahulu telah terikat dengan salah satu dari suami-isteri.
b. Suami atau isteri itu
sendiri.
c.
Para keluarga dalam garis lurus ke atas.
d. Jawatan Kejaksaan.
e.
Setiap
orang yang berkepentingan atas kebatalan perkawinan itu.
Dalam
pada itu, menurut Pasal 92 KUHPdt, pembatalan suatu perkawinan yang
dilangsungkan tidak di depan Pegawai Catatan Sipil yang ber-wenang, atau
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh sejumlah saksi sebagaimana mestinya, maka
boleh dimintakan pembatalannya oleh:
a. Suami-isteri itu
sendiri.
b. Para keluarga sedarah
lainnya dalam garis ke atas.
c. Wali atau wali pengawas.
d. Setiap orang yang
berkepentingan.
e. Jawatan Kejaksaan.
Pasal 93 KUHPdt mengatur
mengenai larangan terhadap pihak-pihak tertentu untuk melakukan pembatalan
perkawinan, yaitu:
a.
Anggota
keluarga sedarah dalam garis ke samping.
b. Anak-anak yang dilahirkan
dari perkawinan lain.
c. Orang
lain yang bukan keluarga selama suami-isteri masih hidup.
Selanjutnya, setelah suatu perkawinan dibubarkan, Jawatan
Kejaksaan tidak diperbolehkan menuntut pembatalan perkawinan (Pasal 94). Suatu
perkawinan walaupun telah dibatalkan, tetapi mempunyai segala akibat perdata,
baik terhadap suami-isteri mau-pun terhadap anak-anak mereka, asal saja
perkawinan itu oleh suami-isteri kedua-duanya telah dilakukan dengan itikad
baik (Pasal 95 KUHPer).
9.
Hak dan Kewajiban
Suami-isteri
Menurut KUHPdt, hak dan
kewajiban tersebut antara lain :
a.
Suami
dan isteri harus setia dan tolong-menolong (Pasal 103);
b.
Suami-isteri
wajib memeliharadan mendidikanaknya (Pasal 104);
c.
Setiap
suami adalah kepala dalam persatuan suami-isteri (Pasal 105 ayat 1);
d.
Suami
wajib memberi bantuan kepada isterinya (Pasal 105 ayat 2);
e.
Setiap
suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi isterinya (Pasal 105 ayat 3);
f. Setiap suami berhak mengurus
harta kekayaan bersama (Pasal 105 ayat 4);
g. Suami tidak
diperbolehkan memindah-tangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak
milik isterinya, tanpa persetujuan si isteri (Pasal 105 ayat 5);
h. Setiap isteri harus
tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 ayat 1);
i. Setiap isteri wajib
tinggal bersama suaminya (Pasal 106 ayat 2);
j. Setiap suami wajib
membantu isterinya di muka hakim (Pasal 110);
k. Setiap isteri berhak
membuat surat wasiat tanpa izin suaminya (Pasal 118).
Menurut ketentuan Pasal
111 KUHPdt menegaskan, bantuan suami kepada isterinya tidak diperlukan
apabila:
a.
Si
isteri dituntut di muka Hakim karena sesuatu perkara pida-na.
b.
Si
isteri mengajukan tuntutan terhadap suaminya untuk men-dapatkan perceraian,
pemisahan meja dan tempat tidur, atau pemisahan harta kekayaan.
8. Kuliah Kedelapan
(K.8)
10. Harta Benda dalam
Perkawinan
a.
Persatuan Harta Kekayaan
1) Pengurusan harta
kekayaan persatuan
Percampuran kekayaan
adalah mengenai seluruh aktiva dan pasiva, baik yang dibawa oleh masing-masing
pihak ke dalam perkawinan maupun yang akan diperoleh di kemudian hari
selama perkawinan. Menurut Pasal 119, prinsip
harta benda perkawinan adalah harta persatuan bulat antara suami dan isteri.
Sedangkan yang berwenang bertindak atas harta benda perkawinan adalah suami,
baik untuk harta pribadi isteri (Pasal 105 yaitu suami sebagai kepala
perkawinan) atau harta persatuan (Pasal 124 ayat 1 yaitu suami sebagai kepala
harta persatuan).
Selanjutnya menurut
Pasal 124 ayat (2) KUHPdt, suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan
membebani harta kekayaan persatuan, tanpa campur tangan si isteri, kecuali
dalam hal-hal berikut ini:
a) Tidak diperbolehkan menghibahkan
barang-barang tak bergerak dan semua barang bergerak dari persatuan,
kecuali memberi kepada anak (Pasal 124 ayat 3);
b) Tidak diperbolehkan
menghibahkan suatu barang bergerak tertentu, meskipun diperjanjikan, ia tetap
menikmati pakai hasil atas barang itu (Pasal 124 ayat 4);
c) Meskipun ada persatuan,
di dalam suatu perjanjian ka-win dapat ditentukan, bahwa barang tak
bergerak dan piutang atas nama isteri yang jatuh dalam persatuan tanpa
persetujuan si isteri, tidak dapat dipindah atau dibebani (Pasal 140 ayat 3).
Jika si suami tidak
hadir atau tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, dan tindakan dengan segera
sangat dibutuhkannya, maka si isteri dapat meminta izin Pengadilan
memindahtangankan atau membebani harta persatuan itu (Pasal 125).
2)
Bubarnya harta persatuan
Menurut Pasal 126
KUHPdt, harta kekayaan persatuan menjadi bubar karena:
a)
Kematian salah satu
pihak.
b)
Berlangsungnya
perkawinan baru si isteri atas izin hakim, setelah adanya keadaan tak hadir si
suami.
c)
Perceraian,
d)
Perpisahan meja dan
tempat tidur.
e)
Perpisahan harta
kekayaan.
Setelah bubarnya harta
persatuan, maka harta persatu-an dibagi dua antara suami dan isteri, atau
antara para ahli waris mereka masing-masing, tanpa mempersoalkan dari pihak
mana barang itu diperolehnya (Pasal 128 ayat l).
b.
Pemisahan harta kekayaan
1)
Alasan-alasan pemisahan
harta kekayaan
Menurut
Pasal 186 ayat (1), sepanjang perkawinan, setiap isteri berhak memajukan
tuntutan kepada Hakim akan pemisahan harta kekayaan, yaitu hanya dalam hal-hal
sebagai berikut:
a) Jika si suami karena
kelakuannya yang nyata-nyata tak baik, telah memboroskan harta kekayaan
persatuan, dan membahayakan keselamatan keluarga.
b) Jika si suami karena tak
adanya ketertiban dan cara yang baik dalam mengurus harta kekayaannya sendiri,
sehingga jaminan akan terpeliharanya harta si isteri menjadi kurang.
c) Jika si suami tidak baik
caranya dalam mengurus harta kekayaan si isteri, sehingga kekayaan ini terancam
bahaya.
Selanjutnya menurut
Pasal 186 ayat (2), pemisahan harta kekayaan atas permufakatan sendiri adalah
terlarang. Menurut Pasal 187, tuntutan akan pemisahan harta kekayaan hams
diumumkan dengan terang-terangan.
2) Akibat-akibat pemisahan
harta kekayaan
Menurut Pasal 189
KUHPdt, kekuatan putusan Pengadilan perihal pemisahan harta kekayaan berlaku
surut sampai hari tuntutan diajukan. Sebagai akibat dari pemisahan harta
kekayaan itu, timbul hal-hal sebagai berikut:
a) Isteri wajib memberikan
sumbangan guna membiayai rum ah tangga dan pendidikan anak-anaknya (Pasal 193);
b) Isteri memperoleh
kebebasan untuk mengurusi sendiri harta kekayaannya dan bolehlah ia
mempergunakan barang bergeraknya sesukanya atas izin umum dari Pengadilan
Negeri (Pasal 194).
3) Penyatuan kembali harta
kekayaan yang sudah dipisah
Persatuan setelah
dibubarkan karena pemisahan harta kekayaan boleh dipulihkan kembali dengan
persetujuan suami-isteri. Persetujuan yang demikian itu diadakan dengan cara
memuatkannya dalam sebuah akta otentik (Pasal 196). Suami-isteri wajib
mengumumkan pemulihan kembali akan persatuan harta kekayaan dengan
terang-terangan (Pasal 198).
11. Putusnya Perkawinan
a.
Alasan-alasan putusnya
perkawinan
Menurut Pasal 199
KUHPdt, perkawinan putus (perkawinan bubar) karena:
1) Kematian.
2) Kepergian suami atau
isteri selama 10 tahun dan diikuti dengan perkawinan baru dengan orang lain.
3) Putusan hakim setelah
adanya perpisahan mejamakan dan tempat tidur selama 5 tahun.
4) Perceraian.
b.
Perpisahan meja dan
tempat tidur
1)
Pengertian perpisahan
meja dan tempat tidur
Perpisahan meja dan
tempat tidur adalah perpisahan antara suami dan isteri yang tidak mengakhiri
pernikahan. Akibat yang terpenting adalah meniadakan kewajiban bagi
suami-isteri untuk tinggal bersama, walaupun akibatnya di bidang hukum
harta benda adalah sama dengan perceraian. Dengan demikian, perkawinan belum
menjadi bubar dengan adanya perpisahan meja dan tempat tidur.
2) Cara-cara pengajuan
perpisahan meja dan tempat tidur Alasan-alasan suami-isteri mengajukan permohonan
perpisahan meja dan tempat tidur adalah:
a) Semua alasan untuk
perceraian, seperti: zinah, ditinggalkan dengan sengaja, penghukuman,
penganiayaan berat, cacad badan/penyakit pada salah satu pihak, suami-isteri
terus-menerus terjadi perselisihan (Pasal -233 ayat 1);
b) Berdasarkan
perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, penganiayaan dan penghinaan kasar,
yang dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain (Pasal 233 ayat
2).
Cara pengajuan
permohonan, pemeriksaan dan pemutusan hakim terhadap perpisahan meja dan tempat
tidur adalah dengan cara yang sama dengan seperti dalam hal perceraian (Pasal
234). Di samping itu, perpisahan meja dan tempat tidur ini dapat diajukan tanpa
alasan, dengan syarat:
a) Perkawinan harus telah
berjalan 2 tahun atau lebih (Pasal 236 ayat 2);
b) Suami dan isteri harus
membuat perjanjian dengan akta otentik mengenai perpisahan diri mereka,
mengenai penunaian kekuasaan orang tua, dan mengenai usaha pemeliharaan serta
pendidikan anak-anak mereka (Pasal 237 ayat 1).
3) Pengumuman keputusan
perpisahan meja dan tempat tidur
Keputusan mengenai
perpisahan meja dan tempat tidur harus diumumkan dalam Berita Negara. Selama
pengumuman itu belum berlangsung, keputusan tidak berlaku bagi pihak ketiga
(Pasal 245). Setelah men-dengar dari keluarga suami-isteri dan keputusan
perpisahan meja dan tempat tidur diucapkan oleh Hakim, maka ditetapkanlah siapa
dari kedua orang tua itu yang akan menjalankan kekuasaan orang tua. Penetapan
ini berlaku setelah keputusan perpisahan meja dan tempat tidur mempunyai
kekuatan hukum (Pasal 246).
4)
Akibat dari perpisahan
meja dan tempat tidur
Akibat dari perpisahan
meja dan tempat tidur ini adalah:
a) Suami-isteri dapat
meminta pengakhiran pernikahan di muka pengadilan, apabila perpisahan meja dan
tempat tidur di antara mereka telah berjalan 5 tahun dengan tanpa adanya
perdamaian (Pasal 200);
b) Pembebasan dari
kewajiban bertempat-tinggal bersama (Pasal 242);
c) Berakhirnya persatuan
harta kekayaan (Pasal 243);
d) Berakhirnya kewenangan suami untuk mengurus
harta kekayaan isteri (Pasal 244).
5) Batalnya perpisahan meja
dan tempat tidur
Perpisahan meja dan
tempat tidur demi hukum menjadi batal apabila suami-isteri rujuk kembali dan
semua akibat dari perkawinan antara suami-isteri hidup kembali, namun semua
perbuatan perdata dengan pihak ketiga selama perpisahan tetap berlaku (Pasal
248 KUHPdt).
c. Perceraian
1)
Pengertian perceraian
Perceraian adalah
pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas
tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan. Menurut
Pasal 208 KUHPdt, perceraian atas persetujuan suami-isteri tidak diperkenankan.
2)
Alasan-alasan perceraian
Menurut Pasal 209 KUHPdt,
alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah:
a) Zinah.
b) Meninggalkan tempat
tinggal bersama dengan itikad jahat selama 5 tahun.
c) Mendapat hukuman penjara
5 tahun atau lebih karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan.
d) Penganiayaan berat, yang dilakukan suami
terhadap isteri atau sebaliknya, sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai
atau dianiaya.
3) Tata cara perceraian
a) Gugatan perceraian:
Tuntutan untuk perceraian perkawinan harus diajukan ke Pengadilan Negeri
tempat tinggal suami sebenarnya. Apabila si suami tidak mempunyai tempat
tinggal atau tempat kediaman sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan itu harus
diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman si isteri sebenarnya. Jika suami
pada saat tersebut tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman
sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan itu harus diajukan ke Pengadilan Negeri
tempat kediaman isteri sebenarnya (Pasal 207);
b) Gugatan perceraian gugur
demikian juga hak untuk menuntut gugur : apabila:
1. Antara suami dan isteri
telah terjadi suatu perdamaian (Pasal 216);
2. Suami atau isteri
meninggal dunia sebelum ada ke-putusan (Pasal 220);
c) Pemeriksaan di
pengadilan: Si isteri, baik dalam perkara perceraian ia menjadi penggugat
maupun menjadi tergugat, selama perkara berjalan, boleh meninggalkan rumah si
suami dengan izin hakim (Pasal 212 ayat 1). Selama perkara berjalan, hak-hak si
suami mengenai pengurusan harta kekayaan isterinya tidak terhenti, hal mana tak
mengurangi keleluasaan si isteri untuk mengamankan haknya (Pasal 215 ayat 1).
Selama perkara berjalan, Pengadilan Negeri adalah leluasa menghentikan
pemangkuan kekuasaan orang tua seluruhnya atau sebagian, dan memberikan kepada
orang tua yang lain, atau kepada seorang ketiga yang ditunjuk oleh Pengadilan,
atau pun kepada Dewan Perwalian. Terhadap tindakan-tindakan tersebut tak boleh
dimohonkan banding (Pasal 214);
d) Putusan Pengadilan: Perkawinan bubar karena
kepu-tusan perceraian dan pembukuan perceraian itu dalam register Pegawai
Catatan Sipil (Pasal 221 ayat 1)
4) Akibat perceraian
Akibat putusnya
perkawinan karena perceraian menurut KUHPdt adalah:
a) Kewajiban suami atau
isteri memberikan tunjangan nafkah kepada suami atau isteri yang menang dalam
tuntutan perceraian (Pasal 222). Kewajiban memberikan tunjangan nafkah
berakhir dengan meninggalnya si suami atau si isteri (Pasal 227).
b) Pengadilan menetapkan
siapa dari kedua orang tua itu yang akan melakukan perwalian terhadap anak-anak
mereka (Pasal 229).
c) Apabila suami dan
isteri yang telah bercerai hendak melakukan kawin ulang, maka demi hukum segala
akibat perkawinan pertama hidup kembali, seolah-olah tak pernah ada perceraian
(Pasal 232 KUHPer).
12. Perkawinan di Luar Indonesia
Menurut Pasal 83 KUHPdt,
perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warganegara
Indonesia satu sama lain, maupun antara mereka dan warganegara lain adalah sah,
jika perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam negeri, di mana
perkawinan itu dilangsungkan, dan suami-isteri warganegara Indonesia tidak
melanggar ketentuan-ketentuan dalam KUHPdt. Selanjutnya menurut Pasal 84, dalam
waktu 1 tahun setelah suami-isteri itu kembali di wilayah Indonesia, maka
perkawinan tadi harus dibukukan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat
tinggal mereka.
9. Kuliah
Kesembilan (K.9)
C. PERKAWINAN MENURUT UU
NO. 1 TAHUN 1974
1.
Asas Monogami dan Izin
Berpotigami dalam Perkawinan
a.
Asas monogami dalam
perkawinan
Dalam Undang-Undang
Perkawinan ini, berlaku pula asas monogami dalam perkawinan. Menurut Pasal 3
ayat (1) UUP, pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami
(asas monogami). Dalam Undang-Undang Perkawinan ini, perolehan keturunan
merupakan tujuan perkawinan.
b.
Izin berpoligami dalam
perkawinan
Di samping asas monogami
tersebut, dalam Pasal 3 ayat (2) UUP disebutkan, bahwa Pengadilan dapat memberi
izin ke-pada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Pasal 63 UUP,
pengadilan yang dimaksudkan di sini adalah:
1) Pengadilan Agama bagi
mereka yang beragama Islam.
2) Pengadilan Umum bagi
lainnya.
Setiap keputusan
Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. Menurut Pasal 4 UUP, dalam
hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang
apabila:
1) Isteri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
2) Isteri mendapat
cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3) Isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
Untuk dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan menurut Pasal 5 ayat (1) UUP, harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1) Adanya persetujuan dari
isteri/isteri-isteri.
2) Adanya kepastian bahwa
suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
3) Adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Selanjutnya dalam Pasal
5 ayat (2) UUP disebutkan, bahwa persetujuan tersebut tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
Dalam Pasal 65 UUP ditegaskan pula, bahwa dalam hal seorang suami beristeri
lebih dari seorang, maka berlaku lah ketentuan-ketentuan berikut:
1) Suami wajib memberi
jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya.
2) Isteri yang kedua dan
seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum
perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi.
3) Semua isteri mempunyai
hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya
masing-masing.
Dengan demikian menurut
Undang-Undang Perkawinan, seorang suami boleh mempunyai isteri lebih dari
seorang asalkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu Pasal 3 ayat (2),
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 65 UUP. Sedangkan menurut Pasal 40 »No. 9 Tahun
1975, apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka
ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Kemudian
menurut Pasal 41 PP No.9 Tahun 1975, Pengadilan memeriksa mengenai:
1) Sah atau tidaknya alasan
yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, yaitu:
a) Bahwa isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b) Bahwa isteri mendapat
cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c) Bahwa isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.
2)
Ada atau tidaknya
persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis. Apabila
persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di
depan sidang pengadilan.
3)
Ada atau tidak adanya
kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
dengan memperlihatkan:
a) Surat keterangan
mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja;
atau
b) Surat keterangan pajak
penghasilan; atau
c) Surat keterangan
lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
4) Ada atau tidak adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang
ditetapkan untuk itu.
Dalam melakukan
pemeriksaan mengenai hal-hal tersebut di atas, Pengadilan harus memanggil dan
mendengar isteri yang bersangkutan. Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan
oleh Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya (Pasal 42 PP 9/1975). Apabila Pengadilan
berpendapat bahwa cukup alasan bagi pe-mohon untuk beristeri lebih dari
seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri
lebih dari seorang (Pasal 43 PP 9/1975). Pegawai Pencatat dilarang untuk
melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang sebelum adanya izin Pengadilan (Pasal 44 PP 9/1975).
2.
Syarat-syarat Sahnya
Perkawinan
Menurut Pasal 2 UUP,
perkawinan sah apabila dilakukan menu-rut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan
yang berlaku. Selanjutnya menurut Pasal 6 UUP,
syarat-syarat perkawinan adalah:
a. Perkawinan harus
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
b. Untuk melangsungkan
perkawinan, seorang yang belum men-capai umur 21 tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.
c. Dalam hal salah seorang
dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan ke-hendaknya.
d. Dalam hal kedua orang
tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
e. Dalam hal ada perbedaan
pendapat antara orang tua, wali, atau keluarga dalam garis lurus ke atas, atau
salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah hukum tern pat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih
dahulu mendengar orang-orang tersebut.
f. Ketentuan pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
g. Selanjutnya, menurut
ketentuan di dalam Pasal 7 UUP di-sebutkan, bahwa perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dalam hal adanya penyimpangan, dapat
meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3.
Larangan Perkawinan
Menurut Pasal 8 UUP,
perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam
garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas.
b. Berhubungan darah dalam
garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara
orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda,
yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapaktiri.
d. Berhubungan susuan,
yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara
dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang
suami beristeri lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Sedangkan menurut Pasal
9 UUP, seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal:
a. Mendapat izin dari
Pengadilan (Pasal 3 ayat 2 UUP).
b. Si isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacad badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau isteri tidak dapat melahirkan
keturunan (Pasal 4 ayat 2 UUP).
Apabila
suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan
perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UUP).
10. Kuliah
Kesepuluh (K. 10)
4.
Perjanjian Perkawinan
Mengenai perjanjian
perkawinan ini menurut Pasal 29 UUP adalah sebagai berikut:
a. Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
b. Perjanjian tersebut
tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut
berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
d. Selama perkawinan
berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua
belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga. Dengan demikian, perjanjian perkawinan ini bisa dibuat dengan akta
otentik dan bisa juga dibuat dengan akta di bawah tangan.
5.
Pencatatan dan
Pengumuman Perkawinan
Menurut PP No. 9 Tahun
1975, tahap-tahap pencatatan perkawinan itu adalah sebagai berikut:
a.
Pegawai pencatat
perkawinan
Pencatatan perkawinan
dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya
itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada
Kantor Catatan Sipil (Pasal 2).
b.
Pemberitahuan perkawinan
Setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat
di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan
sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualian
terhadap jangka waktu tersebut yang disebabkan oleh sesuatu alasan yang
penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah (Pasal 3).
Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau
oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4). Pemberitahuan memuat: nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah
seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami
terdahulu (Pasal 5).
c.
Penelitian oleh pegawai
pencatat
Menurut Pasal 6, pegawai
pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan,
meneliti hal-hal sebagai berikut:
1) Apakah syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi.
2) Apakah tidak terdapat
halangan perkawinan menurut undang-undang.
3) Kutipan akta kelahiran
atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau
surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan
asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat
dengan itu.
4) Keterangan mengenai
nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.
5) Izin tertulis/izin
Pengadilan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai
umur 21 tahun.
6) Izin Pengadilan dalam
hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri.
7) Dispensasi
Pengadilan/Pejabat.
8) Surat kematian isteri
atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan
perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.
9) Izin tertulis dari
Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon
mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata.
10) Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh
pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak
dapat hadir sendiri karena se-suatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan
kepada orang lain.
Hasil penelitian
tersebut oleh pegawai pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk
itu. Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan
sebagai dimaksud undang-undang dan atau belum dipenuhinya pernyataan
tersebut di atas (3-10), keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai
atau kepada orang tua atau kepada wakilnya (Pasal 7).
d.
Pengumuman perkawinan
Setelah dipenuhinya tata
cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan,
pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut
formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat
yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8). Menurut Pasal 9,
pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:
1) Nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari
orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin
disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu.
2) Hari, tanggal, jam dan
tempat perkawinan akan dilangsungkan.
e.
Tata cara perkawinan
Perkawinan dilangsungkan
setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai
pencatat. Tata - cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut
masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan
dihadapan is pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 10).
Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta
perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan
yang berlaku. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri
perkawinan, dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan
penanda-tanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi
(Pasal 11).
Akta perkawinan dibuat
dalam rangkap 2 (dua) helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua
disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan
itu berada. Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta
perkawinan (Pasal 13).
6.
Pencegahan Perkawinan
a.
Syarat dan para pihak
yang berhak mencegah perkawinan
Perkawinan dapat dicegah
apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan (Pasal 13 UUP). Adapun para pihak yang dapat mencegah perkawinan
menurut Pasal 14 ayat (1) UUP adalah sebagai berikut:
1)
Para keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;
2)
Saudara dari salah
seorang calon mempelai;
3)
Wali nikah dari salah
seorang calon mempelai;
4)
Wali dari salah seorang
calon mempelai;
5)
Pengampu dari salah
seorang calon mempelai;
6)
Pihak-pihak yang
berkepentingan.
Mereka yang tersebut di
atas tersebut, dapat juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah
seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan
perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai
yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut di
atas (Pasal 14 ayat 2 UUP). Selanjutnya menurut Pasal 15 UUP, barang-siapa
karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua be I ah
pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang
baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-Undang ini. Hal ini berarti, bahwa yang bersangkutan tidak
dapat mencegah apabila perkawinan tersebut mendapat izin dari Pengadilan.
Selanjutnya menurut
Pasal 16 ayat (1) UUP, seorang pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila:
1) Usia pria dan wanita
dalam perkawinan belum terpenuhi (Pasal 7 ayat 1 UUP).
2) Terkena larangan
perkawinan (Pasal 8 UUP).
3) Seseorang masih terikat perkawinan
dengan orang lain (Pasal 9 UUP).
4) Suami dan isteri
bercerai untuk kedua kalinya (Pasal 10 UUP).
5) Tidak memenuhi tata cara
pelaksanaan perkawinan (Pasal 12 UUP).
b.
Pengajuan dan pencabutan
pencegahan perkawinan
Pencegahan perkawinan
diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan
dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan
perkawinan dimaksud oleh pegawai pencatat perkawinan (Pasal 17 UUP).
Pencegahan perkawinan
dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan
pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah (Pasal 18 UUP). Perkawinan tidak
dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut (Pasal 19 UUP).
c.
Penolakan perkawinan
oleh pegawai pencatat perkawinan
Menurut Pasal 20 UUP,
pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran mengenai:
1) Usia pria dan wanita
dalam perkawinan belum terpenuhi (Pasal 7 ayat 1 UUP).
2) Terkena larangan kawin
(Pasal 8 UUP).
3) Seseorang masih terikat
perkawinan dengan orang lain (Pasal 9 UUP).
4) Suami dan isteri
bercerai untuk kedua kalinya (Pasal 10 UUP).
5) Tidak memenuhi tata cara
pelaksanaan perkawinan (Pasal 12 UUP). meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan.
Selanjutnya di dalam
Pasal 21 UUP ditegaskan, bahwa jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat
bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-Undang ini, maka
ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Di dalam hal penolakan, maka
permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai
pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan
tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. Para pihak yang
perkawinannya ditolak, berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam
wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan
untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan
tersebut di atas. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan
akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah
memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan. Ketetapan ini hilang
kekuatannya jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut
hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang
maksud mereka.
7.
Pembatalan Perkawinan
a.
Syarat-syarat dan
pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan
Perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan (Pasal 22 UUP). Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut
Pasal 23 UUP adalah:
1) Para keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
2) Suami atau isteri.
3) Pejabat yang berwenang
hanya selama perkawinan belum diputuskan.
4) Pejabat yang ditunjuk
dalam Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan
hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus.
Kemudian ditegaskan pula
dalam Pasal 24 UUP, bahwa barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya
dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan
dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru.
b. Pengajuan permohonan
pembatalan perkawinan
Permohonan pembatalan
perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan
dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri
(Pasal 25 UUP). Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan
tan pa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh
para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri,
jaksa dan suami atau isteri. Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri
berdasarkan alasan tersebut gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai
suami-isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui
supaya sah (Pasal 26 UUP). Di dalam Pasal 27 UUP ditegaskan, bahwa seorang
suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila:
1) Perkawinan dilangsungkan
di bawah ancaman yang melanggar hukum;
2) Pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka atas diri suami atau isteri.
Apabila ancaman telah
berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri dan
tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya
gugur. Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang
berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami
atau isteri. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan, dilakukan
sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian (Pasal 38 PP 9/1975).
c. Saat batalnya perkawinan
Menurut Pasal 28 UUP,
batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
1) Anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut.
2) Suami atau isteri
bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan
perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
3) Orang ketiga lainnya,
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan
tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian,
batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan (Pasal 37 PP
9/1975).
8.
Hak dan Kewajiban
Suami-isteri
Hak dan kewajiban dari
suami-isteri dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Pasal 30 sampai dengan
Pasal 34, yaitu:
a. Suami-isteri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat.
b. Hak dan kedudukan isteri
adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
c. Masing-masing pihak
berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
d. Suami adalah kepala
keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
e. Suami-isteri harus
mempunyai tempat kediaman yang tetap dan rumah tempat kediaman ini ditentukan
secara bersama-sama.
f. Suami-isteri wajib
saling cinta-mencintai. hormat- menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
batin yang satu kepada yang lain.
g. Suami wajib melindungi
isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah-tangga sesuai
dengan kemampuannya.
h. Isteri wajib mengatur
urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
i. Jika suami atau isteri
melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan.
9.
Harta Benda dalam
Perkawinan
Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari
masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 UUP).
Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah
harta ferpisah. Aftinya, segala harta yang dibawa ke dalam perkawinan (yang
disebut dengan harta bawaan), tetap dikuasai dan dimiliki oleh pihak yang
membawa. Harta yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama, kecuali
diperoleh karena warisan dan hibah. Apabila mau menyimpang dari prinsip harta
benda perkawinan ini, maka dibuat perjanjian kawin sebelum perkawinan (lihat
Pasal 29).
Sementara itu, yang
berwenang bertindak atas harta benda perkawinan menurut Pasal 36 UUP
adalah :
a) Mengenai harta bersama,
suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
b) Mengenai harta bawaan
masing-masing. suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Selain itu disebutkan
dalam Pasal 37 UUP. bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing.
11. Kuliah Kesebelas
(K.11)
10. Putusnya Perkawinan
a.
Sebab-sebab Putusnya
Perkawinan
Dalam Undang-Undang
Perkawinan, putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41.
Menurut Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena:
1) Kematian.
2) Perceraian.
3) Atas keputusan
Pengadilan,
b.
Masa tunggu bagi wanita
yang putus perkawinannya
Menurut Pasal 11 ayat
(1) UUP, bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu. Pasal 39 PP No. 9 tahun 1975 menyebutkan, bahwa masa tunggu bagi
seorang janda adalah:
1) Apabila perkawinan putus
karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
2) Apabila perkawinan putus
karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 kali
suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak datang bulan
ditetapkan 90 hari.
3) Apabila perkawinan putus,
sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan.
Selanjutnya menurut Pasal 39 PP No. 9/1975 ini, tidak ada waktu tunggu bagi
janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut
dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. Bagi perkawinan
yang putus
karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; sedangkan bagi perkawinan
yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu sejak kematian suami.
11. Perceraian Perkawinan
a.
Alasan-alasan perceraian
Menurut Pasal 19 PP No.
9/1975 disebutkan, bahwa perceraian dapat terjadi karena atasan:
1) Salah satu pihak berbuat
zinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan.
2) Salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tan pa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3) Salah satu pihak
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun Jtjf atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
4) :4) Salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
5) Salah satu pihak
mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
6) Antara suami dan isteri
terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
b. Tata Cara Perceraian
1) Gugatan perceraian: Menurut Pasal 39 UUP,
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan, bahwa antara suami- isteri itu tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami-isteri.
Gugatan perceraian diajukan
kepada Pengadilan (Pasal 40 UUP). Dalam Pasal 20 PP 9/1975, disebutkan, bahwa:
a) Gugatan perceraian
diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
b) Dalam hal tempat
kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat
kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat
kediaman penggugat.
c) Dalam hal tergugat
bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan
permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia
setempat.
Dalam hal karena alasan
salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya, maka gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan di tempat kediaman
penggugat. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan
sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 21 PP 9/1975).
Sedangkan gugatan perceraian karena alasan antara suami dan isteri
terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka diajukan ke Pengadilan di tempat
kediaman tergugat. Gugatan ini dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi
Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah
mendengar pihak keluarga, serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu
(Pasal 22 PP 9/1975). Menurut Pasal 23 PP 9/1975, gugatan perceraian karena
alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat hukuman penjara 5 tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan
Pengadilan yang memutuskan perkara di serta i keterangan yang menyatakan bahwa
putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Menurut Pasal 24 PP
9/1975, selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mung-kin ditimbulkan,
Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam
satu rumah. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat
atau tergugat, Pengadilan dapat:
a) Menentukan nafkah yang
harus ditanggung oleh suami.
b) Menentukan hal yang
perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c) Menentukan hal-hal yang
perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak suami atau
barang-barang yang menjadi hak isteri.
2) Gugatan perceraian
gugur: Gugatan
perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan
Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu (Pasal 25 PP 9/1975).
3) Panggilan sidang; Setiap kali diadakan
sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun
tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
Bagi Pengadilan Negeri, panggilan dilakukan oleh juru si la, dan bagi
Pengadilan Agama, panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan Agama. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan.
Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan
melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu, Panggilan tersebut dilakukan
dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat
atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan
kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan (Pasal 26 PP 9/1975).
Apabila dalam hal tempat
kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat
kediaman yang
tetap. panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan
pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar
atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan. Pengumuman melalui surat
kabar atau surat-surat kabar atau mass media, dilakukan sebanyak 2 (dua) kali
dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Tenggang
waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan
sekurang-kurangnya 3 bulan. Dalam hal sudah dilakukan panggilan dan tergugat
atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat
(Pasal 27 PP 9/1975). Apabila dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar
negeri, panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat
(Pasal 28 PP 9/1975).
4) Pemeriksaan di
pengadilan: Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim
selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian.
Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian, perlu
diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh
penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. Apabila dalam hal tergugat
bertempat kediaman di luar negeri, sidang pemeriksaan gugatan perceraian
ditetapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan
perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan (Pasal 29 PP 9/ 1975). Pada sidang
pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan
kepada kuasanya (Pasal 30 PP 9/1975).
Hakim yang memeriksa
gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak. Selama perkara belum
diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan
(Pasal 31 PP 9/1975). Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan
gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang. Ada sebelum
perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian
(Pasal 32 PP 9/1975). Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan
gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 33 PP 9/1975).
5) Putusan pengadilan: Perceraian itu terjadi
terhitung pada saat. Perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan
(Pasal 18 PP 9/1975). Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam
sidang terbuka. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala
akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan
kantor pencatatan oleh pegawai pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama
Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap (Pasal 34 PP 9/1975).
6) Pegawai pencatat
perceraian: Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk
berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan tanpa bermaterai kepada Pegawai
Pencatat di tempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar
putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu. Apabila
perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai
Pencatat di mana perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan
mengenai gugatan perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap/telah dikukuhkan tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat
tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada
bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan; dan bagi perkawinan yang
dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat
di Jakarta. Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut menjadi tanggung
jawab Panitera yang bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan
kerugian bagi bekas
suami atau isteri atau keduanya (Pasal 35 PP 9/ 1975).
c. Akibat perceraian
Menurut Pasal 41 UUP,
akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
1) Baik ibu atau bapak
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaaan
anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung
jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;
bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
12. Perkawinan di Luar
Indonesia
Hal yang sama juga
disebutkan dalam Pasal 56 ayat (1) UUP, di mana perkawinan yang dilangsungkan
di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang
warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan
bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang
ini. Selanjutnya menurut Pasal 56 ayat (2) UUP, dalam waktu 1 (satu) tahun
setelah suami-isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat buku perkawinan
mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
13. Perkawinan Campuran
a.
Pengertian perkawinan
campuran
Dalam Pasal 57
ditegaskan; “perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia”.
b.
Memperoleh dan
kehilangan kewarganegaraan
Selanjutnya ditegaskan,
bahwa bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan
campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula
kehilangan kewarganegaraan-nya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam
Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58 UUP).
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya
perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun
hukum perdata. Perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut
Undang-Undang Perkawinan ini (Pasal 59 UUP).
c.
Syarat-syarat
melangsungkan perkawinan campuran
Perkawinan campuran
tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang
ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena itu
tidak ada rintangan untuk melangsungkan - perkawinan campuran, maka oleh mereka
yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat
perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat- syarat telah dipenuhi.
Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu,
maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan
dengan tidak beracara, serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah
penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Jika pengadilan
memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, keputusan itu menjadi pengganti
keterangan. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak
mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu • tidak
dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan (Pasal
60 UUP).
d.
Pencatatan perkawinan
campuran
Perkawinan campuran
dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. Barangsiapa melangsungkan
perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat
yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan ini,
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan. Apabila pegawai
pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan mengetahui bahwa keterangan atau
keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan (Pasal 61 UUP).
e.
Kedudukan anak dalam
perkawinan campuran
Dalam perkawinan campuran, kedudukan anak diatur
sesuai dengan Pasal 59 ayat ( 1) UUP, yaitu kewarganegaraan si anak yang diperoleh
sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan orang tuanya menentukan
hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata (Pasal 62
UUP).
Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri dan
anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal. Hal ini dapat dikatakan sebagai
pengertian keluarga dalam arti sempit, namun apabila dalam suatu keluarga itu
berdiam pula pihak lain sebagai akibat adanya perkawinan, maka terjadilah
kelompok anggota keluarga yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan
karena perkawinan dan pertalian darah. Hal ini merupakan pengertian keluarga
dalam arti luas. Dari uraian tersebut, dalam usaha membahas lebih lanjut hukum
keluarga ini, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, terutama masalah
perkawinan.
itu sumber dr mana gays
BalasHapus