PENULIS TITO ANGGA PRANATA
NIM 080710101123
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk
kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan
terhadap yang melakukannya.[1]
Menurut
Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk [2]:
1. Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.[2]
2. Menentukan kapan dan
dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu
dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.[2]
3. Menentukan dengan
cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang
disangka telah melanggar larangan tersebut.[2]
Sedangkan
menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang
kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut
diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.[3]
Dengan
demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri,
melaikan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk
menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan
kesusilaan.[3]
Sumber
Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang
tidak tertulis.[4]Di
Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan
dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.[3] Adapun sistematika
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain[4] :
Dan
juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat
setelah kemerdekaan antara lain[3] :
Ketentuan-ketentuan
Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU
Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya,
seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU
No. 9 Tahun 1999 Tentang Perindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak
Cipta dan sebagainya.[3]
1. Asas Legalitas, tidak
ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan
(Pasal 1 Ayat (1) KUHP).[rujukan?]
Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan
Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan
sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP)
2. Asas Tiada Pidana
Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan
tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang
tersebut.[4]
3. Asas teritorial,
artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa pidana yang
terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik
Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia,
dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing.
4. Asas nasionalitas
aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI yang
melakukan tindak pidana dimana pun ia berada
5. Asas nasionalitas
pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak
pidana yang merugikan kepentingan negara Inonesia
Dalam
hukum pidana dikenal macam-macam pembagian delik ke dalam[5] :
1. Delik yang dilakukan
dengan sengaja, misalnya, sengaja merampas jiwa orang lain (Pasal 338 KUHP) dan
delik yang disebabkan karena kurang hati-hati, misalnya, karena kesalahannya
telah menimbulkan matinya orang lain dalam lalu lintas di jalan.(Pasal 359
KUHP).[5]
2. Menjalankan hal-hal
yang dilarang oleh Undang-undang, misalnya, melakukan pencurian atau penipuan
(Pasal 362 dan378 KUHP) dan tidak menjalankan hal-hal yang seharusnya dilakukan
menurut Undang-undang, misalnya tidak melapor adanya komplotan yang
merencanakan makar.[5]
3. Kejahatan (Buku II KUHP),
merupakan perbuatan yang sangat tercela, terlepas dari ada atau tidaknya
larangan dalam Undang-undang. Karena itu disebut juga sebagai delik hukum.[5]
4. pelanggaran (Buku III
KUHP), merupakan perbuatan yang dianggap salah satu justru karena adanya
larangan dalam Undang-undang. Karena itu juga disebut delik Undang-undang.[5]
Mengenai
hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah
melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10
KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai
berikut :
Hukuman-Hukuman
Pokok
1. Hukuman mati, tentang
hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya
hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini
kadang masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya
pro-kontra terhadap hukuman ini.[5]
2. Hukuman penjara,
hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam hukuman penjara seumur hidup dan
penjara sementara.[5] Hukuman penjara
sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam
penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam
maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.[4]
3. Hukuman kurungan,
hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena
kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran.[rujukan?] Biasanya
terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda.[rujukan?]
Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan
terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak
mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan
paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan
pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan
mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman
penjara tidak demikian.[5]
4. Hukuman denda, Dalam
hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan. [5] Maksimum kurungan
pengganti denda adalah 6 Bulan.[4]
5. Hukuman tutupan,
hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-alasan politik terhadap orang-orang
yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.[5]
Hukuman
Tambahan Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan
harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara
lain :
Sumber Hukum Materiil dan Formil.
Secara umum terlihat ada 2 sumber
hukum, yaitu sumber hukum dalam arti materiil dan formil sebagai berikut :
1.
Sumber hukum materiil.
Sumber hukum yang
menentukan isi suatu peraturan atau kaidah hukum yang mengikat setiap orang.
Sumber hukum materiil berasal dari perasaan hukum masyarakat, pendapat umum,
kondisi sosial-ekonomi, sejarah, sosiologi, hasil penelitian ilmiah, filsafat,
tradisi, agama, moral, perkembangan internasional, geografis, politik hukum, dan lain-lain. Dalam kata lain sumber hukum materil adalah
faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan hukum (pengaruh terhadap
pembuat UU, pengaruh terhadap keputusan hakim, dan sebagainya).
Sumber hukum
materil ini merupakan faktor yang mempengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan
hukum, atau tempat dari mana materi hukum itu diambil untuk membantu
pembentukan hukum. Faktor tersebut adalah faktor idiil dan
faktor kemasyarakatan.
Ø Faktor idiil adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus
ditaati oleh para pembentuk UU ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam
melaksanakan tugasnya.
Ø Faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam
masyarakat dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku sebagai petunjuk hidup
masyarakat yang bersangkutan. Contohnya struktur ekonomi, kebiasaan, adat
istiadat, dan
lain-lain. Faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum yaitu:
a. Stuktural ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat
antara lain: kekayaan alam, susunan geologi, perkembangan-perkembangan
perusahaan dan pembagian kerja.
b. Kebiasaan yang telah membaku dalam masyarakat yang telah
berkembang dan pada tingkat tertentu ditaati sebagai aturan tingkah laku yang
tetap.
c. Hukum yang
berlaku.
d. Tata hukum negara-negara
lain.
e. Keyakinan tentang
agama dan kesusilaan.
f. Kesadaran
hukum.
2.
Sumber hukum dalam arti formil.
Sumber hukum formil adalah sumber hukum dengan bentuk tertentu yang
merupakan dasar berlakunya hukum secara formil. Jadi sumber
hukum formil merupakan dasar kekuatan mengikatnya
peraturan-peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh penegak hukum.
Sumber hukum yang bersangkut paut dengan masalah prosedur atau cara pembentukannya, terdiri dari:
Apa beda antara
undang-undang dengan peraturan perundang-undangan ? Undang-undang dibuat oleh
DPR persetujuan presiden, sedangkan peraturan perundang-undangan dibuat
berdasarkan wewenang masing-masing pembuatnya, seperti PP, dan lain-lain atau
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum (Pasal 1
ayat 2 UU No. 10 tahun 2004).
Sumber hukum dalam arti formil, terdiri atas :
1. Undang-undang (Statue).
2. Kebiasaan (custom).
3. Traktat (Perjanjian
Internasional).
4. Putusan Hakim (yurisprudensi).
5. Doktrin.
Pembagian Hukum Pidana.
Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut :
1.
Hukum Pidana Obyektif (ius punale).
Hukum pidana obyektif (ius punale) adalah hukum pidana yang
dilihat dari aspek larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai
dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum
pidana obyektif memiliki arti yang sama dengan hukum pidana materiil.
Sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel Suringa, ius punali adalah sejumlah
peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah dan keharusan yang
terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana bagi si pelanggarnya.
Hukum pidana obyektif dibagi dalam :
a. Hukum
Pidana Materiil ialah semua peraturan-peraturan yang menegaskan :
Ø Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
Ø Siapa yang dapat dihukum.
Ø Dengan hukuman apa menghukum seseorang.
Singkatnya
Hukum Pidana Materiil mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat
dihukum. Jadi Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan hukum atau
perundang-undangan yang berisi penetapan mengenai perbuatan-perbuatan apa saja
yang dilarang untuk dilakukan (perbuatan yang berupa kejahatan/pelanggaran),
siapa sajakah yang dapat dihukum, hukuman apa saja yang dapat dijatuhkan
terhadap para pelaku kejahatan/pelanggaran tersebut dan dalam hal apa sajakah
terdapat pengecualian dalam penerapan hukum ini sendiri dan sebagainya.
b. Hukum Pidana
Formil atau Hukum Acara Pidana ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur
bagaimana cara pelaksanaan/penerapan Hukum Pidana Materiil dalam praktek hukum
sehari-hari menyangkut segala hal yang berkenaan dengan suatu perkara pidana,
baik didalam maupun di luar acara sidang pengadilan (merupakan pelaksanaan dari
Hukum Pidana Materiil). Hukum Acara Pidana terkumpul atau diatur dalam Reglemen
Indonesia yang di baharui disingkat dahulu R.I.B. (Herziene Inlandsche
Reglement = H.I.R.) yang sekarang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) tahun 1981.
2.
Hukum Pidana Subyektif (ius puniendi).
Hukum pidana subyektif (ius puniendi) ialah hak dari negara atau alat-alat
perlengkapannya untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan
tertentu. Hukum pidana subyektif ini baru ada, setelah ada peraturan-peraturan
dari hukum pidana obyektif terlebih dahulu.
Dalam hubungan ini tersimpul kekuasaan
untuk dipergunakan oleh negara yang berarti bahwa tiap orang dilarang untuk
mengambil tindakan sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana (perbuatan
melanggar hukum = delik). Hukum pidana subyektif sebagai aspek subyektifnya hukum
pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara :
1. Untuk menentukan
larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum.
2. Untuk memberlakukan
(sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan pidana kepada
si pelanggar larangan tersebut.
3. Untuk menjalankan
sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana
tadi.
3. Hukum Pidana
Umum.
Hukum pidana umum ialah hukum pidana yang berlaku terhadap
setiap penduduk (berlaku terhadap siapa pun juga di seluruh Indonesia)
kecuali anggota ketentaraan.Hukum pidana umum secara definitif dapat diartikan
sebagai perundang-undangan pidana yang berlaku umum yang tercantum dalam KUHP
serta perundangan-undangan yang merubah dan menambah KUHP.
4. Hukum Pidana
Khusus.
Hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus
untuk orang-orang yang tertentu.Hukum pidana khusus sebagai perundang-undangan
di bidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur
dalam perundang-undangan khusus, diluar KUHP baik perUU Pidana maupun bukan
pidana tetapi memiliki sanksi pidana (ketentuan yang menyimpang dari KUHP).
Contoh:
a. Hukum Pidana Militer, berlaku khusus
untuk anggota militer dan mereka yang dipersamakan dengan militer.
b. Hukum
Pidana Pajak, berlaku khusus untuk perseroan dan mereka yang membayar pajak
(wajib pajak).
Pengertian Hukum Pidana dan Tindak
Pidana.
Hukum pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar
atau aturan-aturan untuk :
Ø Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak
boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa
pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
Ø Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa
kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
Ø Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara
istilah “pidana” dengan istilah “hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah
“hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut beliau
istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman”. Menurut Muladi dan Bardanawawi
Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat
mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi
dengan bidang yang cukup luas.Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan
dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan,
moral, agama, dan sebagainya.Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih
khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat
menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”.
Pengertian tindak pidana yang di muat
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang
sering disebut dengan strafbaarfeit. Para
pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut
mengenai strafbaarfeit itu,
maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum
pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta
delik.
Perbedaan Ilmu Hukum Pidana dengan Kriminologi.
Perbedaan antara Hukum Pidana dengan Kriminologi sangat
besar.Kriminologi bukan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan hukum
pidana.Hukum pidana adalah ilmu pengetahaun dogmatis yang bekerja secara
deduktif.Sedangkan kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang berorientasi kepada
ilmu pengetahuan alam kodrat yang menggunakan metode empiris-induktif.
Namun demikian, perbedaan antara kedua disiplin ilmu tetap
ada.Hukum Pidana masih dipandang sebagai ilmu pengetahuan normatif yang penyelidikan-penyelidikannya
adalah sekitar aturan-aturan hukum dan penerapan dari aturan-aturan hukum itu
dalam rangka pendambaan diri terhadap cita-cita keadilan.Hukum pidana adalah
ilmu pengetahuan yang mengkaji norma-norma atau aturan-aturan yang seharusnya,
lalu dirumuskan dan ditetapkan, dan kemudian diberlakukan.Hukum pidana bersifat
umum dan universal, dan disebut sebagai post factum atau yang disebut
dengan “setelah kejadian”. Suatu ketetapan dapat dirumuskan jikalau apabila
permasalahan kejahatan telah terjadi di dalam masyarakat, kemudian diberlakukan
suatu aturan atau norma yang memberikan batas-batas.
Sementara itu, kriminologi, yang meskipun dalam beberapa hal
berpangkal tolak dari konsepsi hukum pidana, lebih banyak menelusuri dan
menyelidiki tentang kondisi-kondisi individual dan kondisi-kondisi sosial dari
konflik-konflik, dan akibat-akibat serta pengaruh-pengaruh dari represi
konflik-konflik dan membandingkannya secara kritis efek-efek dari represi yang
bersifat kemasyarakatan disamping juga tindakan-tindakan itu. Berbeda dengan
hukum pidana yang bersifat normatif, kriminologi lebih mengkaji tentang
kenyataan yang senyata-nyatanya, menafsirkan konteks, yang didapati dari hasil
penelitian.Kriminologi bersifat lebih khusus dan terbatas. Oleh karena itu
kriminologi disebut sebagai pre factum atau yang disebut juga dengan
“sebelum kejadian”, di mana kriminologi lebih mengkaji sebab musabab dari suatu
permasalahan kejahatan.
Meski berbeda, para ahli hukum pidana tetap memerlukan
kriminologi sebagai ilmu pengetahuan pembantu.Dengan menyadari sifat tersendiri
dari masing-masing ilmu pengetahuan ini, ilmu pengetahuan hukum pidana dan
kriminologi harus bekerja secara berpasangan, tetapi dengan arahnya yang
berlawanan. Di antara kedua disiplin ilmu pengetahuan ini, terdapat pikiran
integrasi yang saling memerlukan antara satu sama lain. Meskipun berbeda, ilmu
pengetahuan hukum pidana dan kriminologi tidak dapat dipisahkan.
Jadi, kriminologi dan ilmu hukum pidana saling
mempengaruhi.Kriminologi menerima hukum itu seperti yang dimaksudkan oleh ilmu
hukum pidana, sebaliknya kriminologi dan praktek hukum memperkaya ilmu hukum
pidana dan mengadakan evaluasi atas hukum pidana itu.
Isi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
adalah sebagai berikut :
1. Buku
I : Mengatur tentang Aturan Umum dari pasal 1
sampai dengan pasal 103 KUHP.
2. Buku II
: Mengatur tentang Kejahatan dari pasal 104 sampai dengan pasal 488 KUHP.
3. Buku
III : Mengatur tentang Pelanggaran dari pasal 489 sampai dengan
pasal 569 KUHP.
Asas-Asas Hukum Pidana.
Adapun yang menjadi asas-asas berlakunya KUHP. Hal ini diatur
dalam pasal 2 sampai dengan pasal 9 KUHP, yang memuat 4 asas, yaitu :
1.
Asas Teritorial atau
Wilayah.
Undang-Undang Pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang
yang melakukan sesuatu pelanggaran/kejahatan di dalam wilayah kedaulatan negara
Republik Indonesia.Jadi bukan hanya berlaku terhadap warga negara Indonesia
sendiri saja, namun juga berlaku terhadap orang asing yang melakukan kejahatan
di wilayah kekuasaan Indonesia.
Yang menjadi dasar adalah tempat di mana perbuatan melanggar
itu terjadi, dan karena dasar kekuasaan Undang-Undang Pidana ini dinamakan asas
Wilayah atau asas Teritorial. Yang termasuk wilayah kekuasaan Undang-Undang
Pidana itu, selain daerah daratan, lautan dan udara teritorial, juga
kapal-kapal yang memakai bendera Indonesia (kapal-kapal Indonesia) yang berada
di luar perairan Indonesia.
Asas teritorial terdapat dalam pasal 2 dan 3 KUHP :
Ø Pasal 2 KUHP : Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia ditetapkan bagi setiap orang yang
melakukan suatu delik di Indonesia (delik = tindak pidana).
Ø Pasal 3 KUHP : Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah
Indonesia melakukan delik di dalam perahu atau pesawat udara Indonesia.
Pasal 3 KUHP sebenarnya mengenai perluasan dari pasal 2
KUHP. Sebagai pengecualian asas
Teritorial, ialah bahwa Undang-Undang Pidana Indonesia tidak berkuasa
terhadap :
Ø Mereka yang mempunyai Hak Ex-Teritorial, yaitu orang-orang di daerah negara asing
tidak dikenakan Undang-Undang Pidana dari negara itu dan oleh karena itu mereka
berada di luar kekuasaan hukum negara di mana mereka berada. Mereka itu ialah :
1. Kepala negara asing dengan keluarganya
yang berada di Indonesia.
2. Duta besar dengan keluarganya dan
pegawai-pegawai kedutaan.
3. Anak buah kapal asing, meskipun mereka
berada di luar kapalnya.
4. Anggota ketentaraan asing yang
mempunyai izin mengunjungi Indonesia.
5. Sekretaris Jenderal PBB.
6. Anggota delegasi negara asing yang sedang dalam
perjalanan menuju sidang PBB, dan singgah di Indonesia.
Ø Mereka yang mempunyai Hak Immuniteit-Parlementair (Hak Kekebalan),
yaitu para anggota MPR dan DPR Pusat dan DPR Daerah serta para Menteri juga
tidak dikenakan hukuman (Pidana) untuk segala apa yang dikatakannya (dan
tulisan-tulisan mereka) di dalam gedung Parlemen. Mereka ini mempunyai Hak
Immuniteit-Parlementair.Hak ini tak diatur dalam KUHP, tetapi diatur dalam
Hukum Tata Negara (Ketetapan MPR No.I/MPR/1983 dan Undang-Undang No. 13 Tahun
1970).
2.
Asas Nasional Aktif atau Personalitas.
Undang-Undang Pidana Indonesia berlaku juga
terhadap Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.Kalau asas
Teritorial yang di pentingkan tempat terjadinya kejahatan, maka asas Nasional
Aktif yang menjadi dasar ialah orang (kebangsaan) yang melakukan kejahatan itu.
Dengan
orang di sini dimaksudkan Warga Negara Indonesia, oleh karena itu asas ini
dinamakan “asas personaliteit atau asas Nasional Aktif”. Hal ini diatur dalam
KUHP pasal 5 ayat 1 sub 1 : “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia diterapkan bagi warga negara Indonesia yang melakukan kejahatan tertentu
di luar Indonesia”. Untuk dapat menuntut warga negara kita di luar negeri maka
diperlukan dulu penyerahannya oleh negara asing yang bersangkutan kepada kita.
Mengenai penyerahan akan dibicarakan kemudian.
3.
Asas Nasional Pasif atau Asas Perlindungan.
Didasarkan kepada kepentingan hukum negara
yang dilanggar.Undang-Undang Pidana Indonesia berkuasa juga mengadakan
penuntutan terhadap siapapun juga di luar negara Republik Indonesia juga
terhadap orang asing di luar Republik Indonesia.Disini dipentingkan kepentingan hukum sesuatu negara (keselamatan
negara) yang dilanggar oleh seseorang.Oleh karena itu asas ini dinamakan “asas
perlindungan atau asas Nasional Pasif”.
Dasar hukumnya adalah bahwa tiap negara
yang berdaulat pada umumnya berhak melindungi kepentingan hukum
negaranya. Yang termasuk perbuatan-perbuatan yang merugikan negara
Indonesia seperti memalsukan uang Indonesia, Materai, Lambang Negara, cap
negara, surat hutang yang ditanggung Pemerintah Indonesia dan lain-lain.
Hal-hal ini diatur dalam KUHP pasal 4 ayat 1, 2, dan 3, pasal 7 dan pasal 8.
4. Asas Universal
atau Universaliteit.
Undang-Undang Pidana Indonesia dapat juga
diperlakukan terhadap perbuatan-perbuatan jahat yang bersifat merugikan
keselamatan Internasional yang terjadi dalam daerah yang tidak bertuan.Jadi di
sini mengenai perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan dalam daerah yang tidak
termasuk kedaulatan sesuatu negara manapun, seperti di lautan terbuka, atau di
daerah kutub.
Kejahatan-kejahatan yang bersifat merugikan
keselamatan Internasional adalah Pembajakan di laut lepas, pemalsuan mata uang
negara manapun juga.Karena di sini yang dipentingkan keselamatan Internasional,
maka dinamakan “asas Universal”.
Asas-Asas
dalam Hukum Acara Pidana.
Adapun asas hukum
acara pidana tersebut antara lain :
1.
Asas Legalitas.
Penuntut umum wajib
menuntut setiap orang yang melakukan tindak pidana tanpa kecuali.Bahwa
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dapat dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang oleh Undang-Undang
dan hanya untuk hal yang diatur dalam Undang-Undang.Asas Legalitas dalam Hukum
Acara Pidana adalah hal yang berbeda dengan Asas Legalitas dalam KUHP.
Dalam KUHP asas
legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun yang
dapat dihukum tanpa adanya aturan yang mengatur sebelumnya.Namun dalam Hukum
Acara Pidana asas legalitas dimaknai sebagai asas yang menyatakan bahwa setiap
Penuntut Umum wajib menuntut setiap perkara.Artinya, legalitas yang dimaksudkan
dalam hal ini adalah bahwa setiap perkara hanya dapat diproses di pengadilan
setelah ada tuntutan dan gugatan terhadapnya.Asas ini diatur dalam pasal 137
KUHAP.
Sedangkan Asas Oportunitas adalah asas yang menyatakan bahwa
Penuntut Umum memiliki hak untuk menuntut atau tidak menuntut sebuah perkara.
Kedua asas ini pada dasarnya bukanlah hal yang kontradiksi, karena Asas
Legalitas berkenaan dengan Perkara yang akan diproses di pengadilan (legalitas
terhadap perkaranya) sedangkan asas oportunitas berkenaan dengan hak penuntut
umum. Apabila Penuntut Umum menggunakan haknya untuk menuntut di pengadilan
maka perkara tersebut mendapatkan legalitasnya untuk diproses di pengadilan.
2.
Asas Oportunitas.
Asas Oportunitas
adalah asas yang menyatakan bahwa Penuntut Umum memiliki hak untuk menuntut
atau tidak menuntut sebuah perkara.Penuntut umum berwenang menutup perkara demi
Kepentingan Umum bukan hukum. Menurut asas ini Penuntut Umum tidak wajib
menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana, jika menurut pertimbangan akan
merugikan kepentingan umum.
Jadi demi kepentingan
umum, seseorang yang melakukan Tindak Pidana tidak akan dituntut ke muka
pengadilan. Dengan kata lain Penuntut Umum (PU) dapat Mempeti Es kan suatu
perkara. Asas ini diatur dalam pasal 14 huruf h KUHAP.
Menurut
Pasal 14 KUHAP, merupakan wewenang Jaksa Agung dengan pertimbangan dari
Pemerintah dan DPR untuk menyampaikan perkara demi kepentingan umum. Yaitu hak
seorang Jaksa untuk menuntut atau tidak demi kepentingan umum.
3.
Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption
of Innocence).
Seseorang wajib
dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang menyatakan
kesalahannya, dan putusan itu sudah In
Kracht (telah berkekuatan hukum tetap).Jadi seseorang hanya dapat
dikatakan bersalah, sepanjang hal tersebut telah dinyatakan dalam putusan hakim
dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Setiap orang yang ditangkap, dituntut, ditahan dan atau
dihadapkan di muka sidang wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan bersalah dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Adanya penahanan
semata-mata untuk mempermudah proses pemeriksaan bukan untuk penghukuman
(penahanan tidak sama dengan penghukuman). Asas ini diatur dalam pasal 8
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 jo. Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No.48 Tahun
2009.
4.
Asas Peradilan Bebas.
Hakim dalam memberikan putusan, bebas dari adanya campur
tangan dan pengaruh dari pihak atau kekuasaan manapun. Contoh pada masa Orde
Baru, Hakim berbaju ataupun bermuka dua dimana di satu pihak secara
administrasi (karir, gaji, mutasi, dan sebagainya) di bawah Departemen
Kehakiman (Lembaga Eksekutif), di lain pihak secara operasional (perkara) di
bawah Mahkamah Agung atau MA (Lembaga Yudikatif). Saat ini dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999, Hakim baik secara administrasi maupun operasional di bawah
Mahkamah Agung.
5.
Asas Perlakuan yang Sama di Muka Hukum (Equal
Justice Under The Law).
Setiap orang (tersangka maupun terdakwa) baik miskin maupun
kaya, pejabat maupun orang biasa di dalam pemeriksaan baik di hadapan penyidik,
penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan harus diperlakukan sama. Asas ini
merupakan asas yang fundamental.Dalam pelaksanaan KUHAP tidak boleh membedakan
perbedaan status, dan sebagainya. Dalam setiap beracara pidana di Indonesia
kita harus mempunyai kedudukan yang sama.
6.
Asas Terbuka untuk Umum.
Asas terbuka untuk umum pada
pemeriksaan pengadilan maupun pembacaan putusan.Untuk tindak pidana tertentu,
(misalnya tindak pidana pemerkosaan) pemeriksaan acara pembuktian dilakukan
tertutup untuk umum, begitu pula dalam pengadilan anak.Asas bahwa pengadilan
terbuka untuk umum (kecuali diatur dalam UU), serta dihadiri oleh terdakwa.
Hal ini supaya pengadilan transparan, bahwa pengadilan itu benar, dan tidak hanya menindas terdakwa.
Hal ini supaya pengadilan transparan, bahwa pengadilan itu benar, dan tidak hanya menindas terdakwa.
Terdakwa harus hadir
di pengadilan karena yang memberikan jawaban atas tindak pidana yang didakwakan
padanya adalah terdakwa, sehingga terdakwa harus hadir.Pada prinsipnya setiap
persidangan harus dilakukan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara anak dan
kesusilaan.Hal ini sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 153 ayat (3) KUHAP.
Apabila sidang pengadilan tidak terbuka untuk umum maka putusan hakim akan
dianggap batal demi hukum sesuai dengan ketentuan dalam pasal 153 ayat (4)
KUHAP.
7.
Pemeriksaan dalam Perkara Pidana
dilakukan secara Langsung dan Lisan.
Berbeda dengan perkara perdata dapat dikuasakan dan hanya
perang surat menyurat. Sedangkan perkara pidana (langsung) Terdakwa tidak dapat
dikuasakan hanya dapat didampingi, pemeriksaan secara lisan (menggunakan bahasa
Indonesia).
8.
Peradilan dilakukan secara Cepat,
Sederhana dan Biaya Ringan.
Prakteknya sulit dilakukan apalagi
terdakwa tidak ditahan.Bahwa setiap pemeriksaan harus dilaksanakan dalam waktu
yang singkat.Adanya asas cepat ini karena pemeriksaan dalam Hukum Acara Pidana
sangat berhubungan pada nasib tersangka. Pada tahun 1977 terdapat kasus “Sekon
dan Karta” yang selama 12 tahun di pemeriksaan sebelum akhirnya dinyatakan
tidak terbukti bersalah.
Asas ini adalah asas
yang mendasari setiap proses peradilan di Indonesia. Pada dasarnya asas ini
tidak dikhususkan hanya pada peradilan pidana saja, akan tetapi pada semua
tingkatan peradilan asas ini diberlakukan sebagai prinsip dasar penyelenggaraan
proses peradilan. Cepat artinya Pengadilan dapat dijadikan sebagai institusi
yang dapat mewujudkan keadilan secara cepat oleh para pencari keadilan.
Sederhana artinya semua proses penanganan perkara dilaksanakan secara efisien
dan se-efektif mungkin dan Biaya Ringan artinya bahwa biaya yang dikeluarkan
selama proses penyelesaian perkara di pengadilan adalah biaya yang dapat
dijangkau oleh masyarakat.Asas ini diatur dalam
pasal 50 KUHAP.
9.
Asas Perlindungan Hak Asasi Manusia.
Dalam pemeriksaan, baik tahap
penyidikan, penuntutan maupun di pengadilan, Tersangka maupun Terdakwa harus
mendapat perlakuan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia yang
diberi hak untuk membela diri (akuisator), tidak dianggap sebagai barang atau
objek yang diperiksa wujudnya (Inkuisator).
Asas Akuisator dan
Inkuisator adalah asas yang berkenaan dengan proses pemeriksaan terdakwa di
Pengadilan. Asas Akuisator adalah asas dimana pemeriksaan dilakukan dengan
memposisikan terdakwa sebagai subjek pemeriksaan.Sedangkan Asas Inkuisator
adalah asas dimana pemeriksaan dilakukan dengan memposisikan terdakwa sebagai
objek pemeriksaan.
10.
Asas Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan.
Pengadilan hanya dapat menghukum
Tersangka atau Terdakwa yang nyata-nyata memiliki kesalahan atas perbuatannya,
ada peraturan yang dilanggarnya sebelum perbuatan itu dilakukan.
Semua Asas diatas
tersebut diatur dalam Undang-Undang Kekuasan Kehakiman
(UU No. 14 Tahun
1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 4 Tahun 2004).
Asas Pranata Baru dalam Hukum Acara Pidana.
1.
Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi.
Asas yang fundamental ini, juga ada
dalam asas dalam deklarasi HAM.Dalam setiap pelaksanaan Hukum Acara Pidana
sejak dari tingkat penyidikan sampai dengan pemeriksaan di persidangan apabila
terjadi kesalahan wajib diberikan ganti rugi dan rehabilitasi.
Hal ini menunjukkan
bahwa, tidak boleh terjadi kesewenang-wenangan dalam pemeriksaan aparat penegak
hukum.Asas tentang perlunya memberikan ganti rugi dan rehabilitasi kepada
masyarakat yang dirugikan akibat putusan peradilan yang salah.Misalnya dalam
kasus error in persona.
2.
Asas Memperoleh Bantuan Hukum.
Bahwa sejak dari
mulai menjadi tersangka sampai dengan pengadilan, pelaku tindak pidana wajib
memperoleh bantuan hukum.Konsekuensinya aparat hukum pertama kali harus
menawarkan perlu atau tidak memperoleh bantuan hukum.Dan jika tidak mampu
negara harus menyediakan.Jika tidak ditawarkan maka seluruh pemeriksaan batal
demi hukum.Fungsi dari pengacara atau bantuan hukum ini adalah untuk menjaga
hak-hak tersangka di dalam setiap pemeriksaan.
3.
Asas Informasi.
Bahwa setiap
pemeriksaan di Hukum Acara Pidana para pihak (tersangka dan pengacara) wajib
diberitahukan dasar hukumnya, serta wajib diberitahukan hak-haknya.
4.
Asas Pemeriksaan Secara Langsung
Asas ini adalah asas
yang menyatakan bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan dalam Peradilan Pidana
adalah proses pemeriksaan secara langsung dengan kehadiran terdakwa (in presentia) dan juga kepada para saksi.
5.
Asas Keseimbangan
Asas ini adalah asas
bahwa Hukum Acara Pidana dalam penerapannya harus memperhatikan keseimbangan
antara perlindungan harkat dan martabat manusia di satu sisi dan perlindungan
terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat disisi yang lainnya. Oleh karena
itu, setiap hukuman yang diputuskan harus mengandung dua unsur ini agar asas
keseimbangan dapat diwujudkan dalam setiap proses Peradilan Pidana.
6.
Asas Pemeriksaan Tersangka/Terdakwa
didampingi oleh Penasehat Hukum
Asas ini selain diatur dalam KUHAP juga
merupakan asas utama yang tercantum dalam ICCPR (International Convention of Civil and Political Rights) bahwa
setiap terdakwa berhak untuk didampingi oleh penasehat hukum di semua tingkatan
peradilan, berhak untuk memilih sendiri penasehat hukumnya, dan wajib untuk
diberikan bantuan secara cuma-cuma untuk terdakwa dengan ancaman pidana mati
atau pidana penjara 15 tahun atau bagi yang tidak mampu dengan ancaman penjara
5 tahun atau lebih.
Beberapa Istilah Dalam Hukum Acara Pidana
Beberapa istilah penting dalam hukum acara pidana (Pasal 1 KUHAP) :
1. Penyidik adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
2. Penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
3. Penyidik pembantu adalah pejabat
kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang
tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.
4. Penyelidik adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penyelidikan.
5. Penyelidikan adalah serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
6. a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang
ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
7.
Penuntutan adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
8. Praperadilan adalah wewenang
pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini, tentang :
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka,
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
9. Upaya hukum adalah hak terdakwa
atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa
perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam
undang-undang ini.
10. Penasihat hukum adalah seorang
yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi
bantuan hukum.
11. Tersangka adalah seorang yang
karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga
sebagai pelaku tindak pidana.
12. Terdakwa adalah seorang tersangka
yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
13. Tertangkap tangan adalah
tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan
segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian
diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila
sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya
atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
14. Penangkapan adalah suatu tindakan
penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan
atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
15. Penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar