Perkembangan
konsep Hak Asasi Manusia ditelusuri secara historis
berawal dari dunia Barat dimulai dari abad XVII sampai dengan abad XX.Pada abad
XVII, Hak Asasi Manusia berasal dari hak kodrat (natural rights) yang
mengalir dari hukum kodrat (natural law). Dua hak yang sangat
ditonjolkan adalah kebebasan politik (political freedom) dan hak untuk
ada (rights to be). Hal ini dipengaruhi keadaan masa sebelumnya dalam
kehidupan bernegara yang absolut. Pada abad XVIII, hak kodrat
dirasionalkan melalui konsep kontrak sosial dan mebuat hak tersebut menjadi
sekular, rational, universal, individual demokratik dan radikal. Dua hak yang
sangat ditonjolkan adalah kebebasan sipil (civil libertis) dan hak untuk
memiliki (rights to have). Pada abad XIX masuk pemikiran sosialisme yang
lebih memberikan penekanan pada masyarakat (society).Pada masa ini lahir
fungsi sosial dan hak-hak individu. Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah hak
untuk berpartisipasi (participation rights) dan hak untuk berbuat (rights
to do). Pada abad XX ditandai dengan usaha untuk mengkonversikan hak-hak
individu yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (form natural human
rights into positive legal rights).Saat itu lahirlah The Universal
Declaration of Human Rights (DUHAM). Hak yang meonjol pada abad ini adalah
hak-hak sosial ekonomi (sosial economic rights) dan hak untuk
mendapatkan sesuatu (rights to receive).
Pemikiran konsep hak asasi manusia, secara umum menurut Philipus M Hadjon, dibedakan dalam tiga kelompok, berdasarkan ide/ gagasan yaitu political and ideological thought yaitu Barat, sosialis dan dunia ketiga. Yang dikelompokkan dalam pemikiran barat meliputi Eropa Barat, amerika Serikat, Kanada, Aistralia, New Zealan, sebagian Amerika Latin yang dipengaruhi pemikiran Barat, dan Jepang (dari segi ekonomi). Kelompok sosialis meliputi negara sosialis di Eropa timur, Kuba, Yugoslavia.Selain itu ada kelompok dunia ketiga yang tidak mempunyai kesatuan ideologi, misalnya India dan Indonesia.
Pemikiran konsep hak asasi manusia, secara umum menurut Philipus M Hadjon, dibedakan dalam tiga kelompok, berdasarkan ide/ gagasan yaitu political and ideological thought yaitu Barat, sosialis dan dunia ketiga. Yang dikelompokkan dalam pemikiran barat meliputi Eropa Barat, amerika Serikat, Kanada, Aistralia, New Zealan, sebagian Amerika Latin yang dipengaruhi pemikiran Barat, dan Jepang (dari segi ekonomi). Kelompok sosialis meliputi negara sosialis di Eropa timur, Kuba, Yugoslavia.Selain itu ada kelompok dunia ketiga yang tidak mempunyai kesatuan ideologi, misalnya India dan Indonesia.
Perkembangan konsep hak asasi manusia di dunia internasional secara umum
dibedakan dalam tiga generasi yaitu generasi I dengan penekanan hak sipil dan
politik, generasi II dengan penekanan hak sosial ekonomi dan budaya serta
generasi ketiga yang melahirkan hak pembangunan.
Berbeda dengan pendapat Jimly Asshiddiqie yang membedakan perkembangan
konsep hak asasi manusia dalam lima generasi. Jimly Asshiddiqie menyebut
Generasi I dan II sebagai generasi II, sedangkan generasi I mulai
ditandatanganinya Piagam PBB sampai dengan tahun 1966.
Generasi Pertama, puncaknya pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human Rights oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Declaration of Independence, dan di Perancis dengan Declaration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
Generasi Pertama, puncaknya pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human Rights oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Declaration of Independence, dan di Perancis dengan Declaration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
Generasi
Kedua,
dimulai dari persitiwa penandatanganan International Couvenant on Civil and
Political Rights dan International Couvenant on Economic, Sosial and
Cultural Rights (Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III)
tertanggal 16 Desember 1966).
Generasi Ketiga, tahun 1986, muncul konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya.
Generasi I, II, dan III pada pokoknya mempunyai karakteristik dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam suatu negara.Setiap pelanggaran selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam pengertian political crime (kejahatan politik) sebagai lawan dari pengertian crime against government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi).Sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya.
Generasi Keempat, mempunyai sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi yang bersifat horizontal. Hal ini dipengaruhi adanya fenomena :
1. fenomena konglomerasi berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National Corporations (MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corporations (TNC’s) dimana-mana di dunia. Hubungan kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah antara produsen dan konsumen.
2. memunculkan fenomena Nations without State, seperti bangsa Kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia.
3. fenomena berkembangnya suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap masyarakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens, dikalangan diplomat dan pekerja atau pengusaha asing. Sebagai contoh, di setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplomatic shop yang bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbelanja.
4. fenomena berkembangnya corporate federalism sebagai sistem yang mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras tertentu ataupun pengelompokan kultural penduduk. Pembagian kelompok English speaking community dan French speaking community di Kanada, kelompok Dutch speaking community dan German speaking community di Belgia, dan prinsip representasi politik suku-suku tertentu dalam kamar parlemen di Austria, dapat disebut sebagai corporate federalism dalam arti luas. Kelompok-kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan sebagai suatu entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik yang bersifat otonom dan karena itu berhak atas representasi yang demokratis dalam institusi parlemen.
Dimensi Baru dengan ciri pokok yang terletak dalam pemahaman mengenai struktur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen yang memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.
Untuk memahami lebih jauh kajian tentang Hukum dan HAM, silahkan diunduh link
di bawah sebagai bahan pembelajaran
Penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia saat ini
merupakan suatu masalah yang sangat menarik untuk dikaji, karena dalam banyak
kasus ternyata memberikan citra yang kurang baik atau bahkan buruk dimata
masyarakat pada umumnya.Banyak kalangan baik yang awam, maupun yang bergelut
dalam bidang hukum, sering berpendapat bahwa hukum seakan tidak mempunyai makna
dan manfaat dalam rangka memberikan jaminan bagi tujuan utamanya yakni
terciptanya ketertiban, keamanan, kesejahteraan dan keadilan serta
kepastianhukum.
Hukum telah kehilangan jati dirinya sebagai instrument
penting dalam menata atau mengatur kehidupan masyarakat.Ironis memang, jika
kita cermati dan renungkan secara mendalam berbagai peristiwa atau kasus dalam
bidang hukum dimana proses-proses penegakannya memperlihatkan adegan-adegan
yang kurang terpuji atau boleh dikatakan menjijikan dan mengerikan.
Dalam proses penegakan hukum, sebenarnya banyak pihak
mempunyai peran baik pemerintah ( aparatur penegak hukum ; Polisi, Jaksa,
Hakim ) termasuk masyarakat sendiri yang merupakan bagian integral atau tidak
bisa dilepaspisahkan. Peran dan tanggung jawab penegakan hukum, sering
dilimpahkan sepenuhnya kepada aparatur penegak hukum saja, pada hal dalam
sebuah negara hukum yang demokratis rakyat atau masyarakat mempunyai fungsi,
peran dan tanggung jawab yang sangat penting dan menentukan.
Penegakan hukum dan hak asasi manusia akan lebih bermakna,
jika hal itu diikuti dengan berbagai instrument dan elemen pendukung yang patut
mendapat perhatian yang serius dari pihak pemerintah atau penguasa.
Banyak kasus hukum dan hak asasi manusia yang muncul
kepermukaan dan melibatkan para aparatur penegak hukum, sehingga sorotan utama
hanya tertuju pada Polisi, Jaksa, Hakim juga Pengacara yang terlibat
langsung.Pada akhirnya masyarakt, baik secara individu atau kelompok memberikan
penilaian terhadap aparatur penegak hukum, menurut versi masing-masing.
Patut diketahui dan dipahami dalam proses penegakan hukum
dan hak asasi manusia aparatur penegak hukum hanya merupakan salah satu bagian
penting dari sejumlah komponen lain yang mempunyai fungsi dan peran penting
antara lain ; aturan hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan masyarakat
sendiri.
Terkait dengan itu maka sebelum dilakukan Sidang Klasis Kota
Ambon, Panitia Pelaksana di Jemaat Bethel bekerja sama denga Badan Penelitian
dan Pengembangan (Balitbang) Jemaat Bethel, telah berupaya untuk melakukan
survey kecil, terkait dengan masalah hukum dan hak asasi manusia dilingkup
klasis Kota dengan tujuan utama adalah mendapatkan informasi riil dari jemaat.
Langkah ini ternyata mempunyai nilai tambah karena dengan
survey kecil itu tergambar bagi kita bahwa selama ini hampir semua orang
berbicara tentang hukum dan hak asasi manusia, namun dalam kenyataan masih
banyak orang ( jemaat ) maupun para pejabat baik struktural maupun fungsional,
belum sepenuhnya memahami secara baik dan benar tentang hukum dan hak
asasi manusia tersebut.
Hasil temuan sementara ini menarik untuk dikaji, karena
bagaimana mungkin orang ( anggota jemaat ) memperjuangkan hak-haknya secara
baik, padahal hak-hak itu belum sepenuhnya dipahami. Bagaimana mungkin seorang
anggota jemaat menuntut penegakan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia, padahal
lembaga yang menanganinya saja tidak diketahui secara pasti.
2. ISU-ISU HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA
Secara umum dapat dikemukaan beberapa isu Hukum dan hak
asasi manusia yang menonjol. Isu-isu hukum yang menonjol di Kota Ambon antara
lain :
1. Sengketa batas Tanah
baik antar individu maupun antar komunitas
2. Kekerasan dalam rumah
tangga
3. Perlindungan terhadap
perempuan dan anak
4. Kenakalan Remaja
5. Minuman Keras dan
Narkotika dan Obat-obatan terlarang
6. Perselingkuhan dan
seks bebas
7. Perceraian
8. Pembunuhan
9. Pengotoran ( polusi )
dan Pencemaran Lingkungan
10. Pelecehan seksual (
khusus anak dibawah umur )
11. Kekerasan dan
Penganiayaan
12. Pelanggaran
lalulintas jalan raya
13. Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme ( KKN )
14. Tindakan
sewenang-wenang oleh aparatur penegak hukum
15. Pemerasan
16. Kebiasaan menjual
tanah
17. Dan sebagainya
Isu-isu Hak Asasi Manusia yang meonjol di Kota Ambon antara
lain :
1. Hak atas sumberdaya
alam khususnya air bersih
2. Hak atas lingkungan
hidup yang bersih
3. Hak-hak dalam bidang
politik
4. Hak-hak dalam bidang
ekonomi ( mendapatkan pekerjaan yang layak)
5. Hak untuk mendapatkan
perlakuan yang sama dihadapan hukum
6. Hak untuk bebas
menyatakan pendapat /demokrasi
7. Hak untuk bebas
berekspresi
8. Hak untuk bebas dari
bentuk-bentuk penyiksaan
9. Hak untuk mendapatkan
pendidikan
10. Hak atas informasi
11. Hak untuk hidup
sejahtera
12. Dan sebagainya
3. FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PROSES PENEGAKAN HUKUM
Menurut Soerjono Soekanto, secara konseptual terdapat 5 (
lima faktor ) yang mempengaruhi proses penegakan hukum antara lain :
1. Aturan Hukum atau
Undang-Undang
2. Aparatur penegak
hukum
3. Sarana dan Prasarana
4. Budaya Hukum
5. Masyarakat ( Soerjono
Soekanto : 1982 )
Aturan hukum atau Undang-Undang sering merupakan faktor
penghambat sehingga mempengaruhi proses penegakan hukum, karena rumusan
normanya tidak jelas menimbulkan penafsiran yang kadang-kadang merugikan atau
tidak adil.
Aparatur penegak hukum yang merupakan salah satu pilar
penting dalam proses penegakan hukum, sering melakukan berbagai tindakan yang
bertentangan dengan ketentuan hukum sehingga menimbulkan berbagai masalah.
Sarana dan prasarana pendukung yang kurang memadai sudah
tentu akan mempengaruhi ruang gerak aparatur penegak hukum dan juga anggota
masyarakat sebagai pencari keadilan.
Budaya hukum masyarakat yang merupakan suatu proses
internalisasi nilai-nilai dalam rangka memahami hukum dan berupaya untuk
menerapkannya secara baik demi kepentingan bersama, ternyata belum dipraktekan
secara baik.
Masyarakat sering menjadi penyebab dalam proses penegakan
hukum, karena mempunyai uang, sering didorong oleh keinginan untuk menang
sendiri tanpa memperhatikan aspek-aspek yang sifatnya objektif dari hukum untuk
mewujudkan tujuannya yakni keadilan. Sebagai contoh ; seseorang ketika
berhadapan dengan kasus hukum perdata ( masalah tanah ) dan secara objektif
sebenarnya yang bersangkutan tidak mempunyai alat bukti yang kuat, berupa
sertifikat atau keteranga lainnya sebagai alas haknya, tetapi karena yang
bersangkutan mempunyai uang yang banyak maka ia tetap bersikeras untuk membawa
kasus tersebut ke pengadilan. Jadi yang penting masuk ke Pengadilan nanti di
atur kemudian, tanpa mempertimbangkan secara matang dari aspek positif atau
negatifnya.
4. PERAN DAN TANGGUNG
JAWAB CIVIL SOCIETY DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Sudah diuraikan di atas bahwa dalam proses penegakan hukum
maka hampir semua pihak mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing sesuai
dengan kapasitasnya dan lingkup wewenang yang dimiliki. Dengan demikian
penagakan hukum tidak selamanya dilaksanakan secara formil.Artinya hanya
menjadi tanggungjawab aparatur penegak hukum saja, namun secara informal juga
menjadi tanggungjawab semua pihak termasuk civil society.
Patut diakui bahwa selama ini pandangan bahwa proses
penegakan hukum hanya merupakan tanggungjawab pemerintah yang mempunyai
perangkat resmi, sehingga jika terjadi kesalahan dalam beberapa hal yang
sifatnya kasuistis maka sasaran cemoohan ditujukan hanya pada Polisi, Jaksa Dan
Hakim.
Begitu pula dengan upaya penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia, ternyata tanggungjawab itu berada pada pemerintah, hukum dan
masyarakat ( Lihat UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ).
Tanggungjawab dari berbagai pihak yang merupakan pilar penting dalam penegakan
dan pemenuhan hak asasi manusia tersebut menuntut peran-peran yang harus
dimainkan dengan baik tanpa harus menuding, tetapi berada bersama-sama dalam
suatu arak-arakan yang harmonis sehingga sasaran atau tujuan yang diinginkan
boleh tercapai.
Jadi civil society sebenarnya mempunyai peran-peran
yang sangat penting dan menentukan. Artinya peran-peran secara informal melalui
berbagai aktivitas yang memberikan jaminan bagi kehidupan masyarakat yang
tertib, aman dan damai merupakan tanggungjawab bersama yang harus diwujudkan
dalam aktivitas nyata.
Beberapa contoh kecil yang sering diabaikan oleh masyarakat
misalnya ; membuang sampah dijalan ketika berkendara atau disembarang tempat,
menegur dan memberikan nasehat kepada pengendara sepeda motor yang ugal-ugalan
di jalan, memberikan motivasi kepada para pedagang kaki lima yang berjualan di
emper-emper toko dan di atas trotoar, mengarahkan para pengemudi becak yang
memasuki jalur-jalur jalan yang terdapat tanda larangan dan sebagainya,
merupakan tindakan nyata secara informal.
Ketika anggota masyarakat lain atau para pemimpin termasuk
para pelayan berhadapan dengan kasus-kasus kecil tersebut, dan tahu bahwa itu
melanggar hukum, namun tidak memberikan peringatan untuk membimbing atau
mengarahkan mereka agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan
dengan hukum tersebut, maka peran-peran civil society belum dimainkan
secara baik. Hal ini merupakan tanggung jawab bersama, bukan tanggungjawab
Satuan Polisi Pamongpraja ( Satpol PP ) saja atau Polisi semata-mata.
Terkait dengan hak asasi manusia, dapat dikemukakan beberapa
contoh antara lain; tidak terdaftarnya sejumlah warga kota dalam daftar calon
pemilih tetap pada pemilu legislatif tahun 2009 maupun Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden, yang berakibat pada hilangnya hak-hak politik. Banyak diantara
anggota jemaat dan anggota masyarakat yang mungkin saja kehilangan
sumber-sumber kehidupan akibat kebijakan pemerintah, namun mereka pasrah saja
pada keadaan karena terdapat tekanan tertentu oleh penguasa. Pendistribusian
air minum kepada warga kota Ambon yang seharusnya memenuhi standar tertentu,
tetapi ternyata hanya bisa untuk mandi, cuci, kakus dan tidak bisa diminum
karena mengandung kapur, sebenarnya terkait erat dengan hak-hak asasi manusia.
Hak-hak untuk bebas dalam menyampaikan pendapat ( demokrasi ) dalam rumah
tangga, dimana anak tidak mempunyai kebebasan menyampaikan pendapat atau
berekspresi karena kebiasaan atau karena kebiasaan atau budaya untuk tunduk dan
patuh pada semua perintah orang tua, dan tidak ada ruang untuk berdiskusi dan
beragumentasi secara fair.
Banyak kasus lain yang harus dikaji dan dibuat daftar
panjang, sehingga menjadi peringatan kepada penguasa bahwa kebijakan-kebijakan
tersebut ternyata bertentangan dan belum memberikan jaminan penegakan hukum dan
pemenuhan hak asasi manusia.
Sebagai anggota masyarakat, apapun statusnya sebenarnya
mempunyai peran-peran yang sangat penting dan menentukan dalam proses penegakan
hukum dan hak asasi manusia. Inilah yang disebut sebagai peran civil society
dalam proses penegakan hukum dan hak asasi manusia. Artinya setiap komponen
dalam masyarakat yang mempunyai komitmen dan fokus serta prihatin pada
masalah-masalah hukum dan hak asasi manusia, merupakan bagian dari civil
society.
Dengan demikian penegakan hukum dan hak asasi manusia secara
harmonis harus berada dalam nuansa dan gerak langkah yang serasi dari
semua komponen dalam masyarakat, untuk mempengaruhi berbagai kebijakan
pemerintah dalam proses penegakan hukum dan hak asasi manusia.
5. PENEGAKAN HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA YANG BERMAKNA DAN BERMANFAAT BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT
Sesuai dengan tujuannya maka hukum harus memberikan rasa
adil, aman, damai, tertib, sejahtera dan adanya kapastian hukum dalam
masyarakat (Dalijo dkk ). Proses-proses penegakan hukum yang adil pasti
berpengaruh positif bagi penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia.Antara hukum
dan hak asasi manusia ternyata mempunyai hubungan yang sangat erat, karena
tanpa hukum hak asasi tidak bisa ditegakan dan dipenuhi. Hukum harus menjadi
instrumen penting yang akan memberikan jaminan bagi penegakan dan pemenuhan hak
asasi manusia. Oleh karena itu hukum harus bermakna dan bermanfaat bagi
kehidupan bersama dalam masyarakat.Artinya kepercayaan masyarakat terhadap
hukum harus semakin meningkat, bukan sebaliknya menjadi luntur akibat ulah dari
segelintir orang yang kurang bertanggungjawab.
Dalam kenyataan saat ini dapat dikatakan bahwa kepercayaan
masyarakat terhadap hukum semakin luntur.Hal ini sebenarnya bukan disebabkan
karena aturan hukum yang tidak jelas dan kurang memberikan jaminan bagi
pemenuhan hak asasi manusia, tatapi lebih diarahkan pada aparatur penegakan
hukum termasuk anggota masyarakat, yang sering bermain-main dengan hukum demi
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Jadi sebenarnya yang perlu mendapat sorotan utama adalah
manusia yang menjadi penggerak hukum.Manusia sebagai aparatur penegak hukum
maupun sebagai anggota masyarakat biasa harus mampu mendorong dan mengerakan
hukum demi kepentingan hukum itu sendiri maupun aspek-aspek manusia dan kemanusiaan.
Mental dan moral manusia terutama aparatur penegak hukum, harus dibina dengan
sebaik-baiknya berdasarkan ajaran-ajaran agama dan aspek-aspek yang terkait
dengan kemanusiaan, sehingga ketika menjalankan tugas dan tanggungjawab di
dalam masyarakat maka arah dan perhatian harus tertuju pada manusia sebagai
sosok yang perlu dilindungi hak-haknya dalam bidang hukum maupun hak asasi
manusia.
Oleh karena itu, hukum harus ditegakan untuk kepentingan
ketertiban dan keamanan serta kedamaian dalam masyarakat.Hukum juga harus
memberikan jaminan bagi adanya keadilan sehingga semua pihak merasa
diperlakukan secara proposional berdasarkan prinsip-prinsip keadilan.Hukum
harus mensejahterakan masyarakat baik secara fisik maupun psykhis.Artinya
dengan hukum yang baik maka masyarakat merasa hidupnya lebih sejahtera dan
bahagia. Hukum juga harus memberikan jaminankepastian sehingga tidak
menimbulkan penafsiran lain yang pada akhirnya merugikan pihak-pihak tertentu.
Dalam praktek ternyata tidak demikian karena hukum khususnya
Undang-Undang itu merupakan produk politik, sehingga banyak rumusan norma yang
mengandung muatan politik sesuai dengan kepentingan atau keinginan individu
atau kelompok tertentu (Saptenno : 2008 ).
Persoalan mendasar terkait dengan tujuan hukum di atas
sebenarnya berada pada manusia ( aparatur penegak hukum ) yang menggengam hukum
dan melaksanakannya sesuai dengan lingkup kewenangan yang diatur oleh hukum
sendiri. Jika manusia bermental baik maka hukum yang kurang baik pasti akan
diperbaikinya sehingga menjadi lebih baik, demi kepentingan pelayanan
kepada manusia baik secara individu maupun kelompok masyarakat pada umumnya.
Jika manusia bermental atau bermoral kurang baik atau buruk, maka hukum yang
baik akan dirubah menjadi tidak baik, sehingga pada akhirnya menimbulkan
ketidakadilan dan ketidakpastian hukum di dalam masyarakat.
6. PERAN GEREJA SEBAGAI
BAGIAN DARI CIVIL SOCIETY DALAM UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN DAN
PERJUANGAN PENEGAKAN HUKUM DAN PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA
Gereja baik secara struktural organisatoris maupun sebagai
orang-orang percaya yang terpanggil keluar untuk bersaksi, sebenarnya merupakan
bagian penting dari civil society. Artinya secara kelembagaan gereja
berada bersama-sama dengan berbagai organisasi lainnya, dalam masyarakat dengan
tugas utama adalah membina umat manusia yang percaya dan bergabung di dalamnya
untuk menjadi warga gereja, sekaligus warga masyarakat yang takut pada Allah
dengan jalan menuruti segala perintah-perintahNya di dalam Alkitab
sebagai Firman Allah.
Jika dicermati dan dikaji lebih mendalam
serta holistik atau menyeluruh ternyata gereja telah
memainkan fungsi dan perannya secara baik dalam proses-proses
penegakan hukum dan hak asasi manusia. Para Pendeta dan Majelis
dalam berbagai khotbah melalui mimbar-mimbar gereja maupun
ibadah-ibadah, telah melaksanakan fungsi-fungsi advokasi secara
baik. Dalam upaya menyelesaikan berbagai permasalahan dalam
kehidupan berjemaat, para hamba Tuhan telah melakukan berbagai upaya
penegakan hukum dan hak asasi manusia baik langsung maupun tidak langsung.
Firman Tuhan yang disampaikan sebenarnya berisi pesan-pesan
hukum dan hak asasi manusia yang luhur, namun dalam kenyataan belum seluruh
anggota jemaat termasuk para pelayan sendiri, menghayati dan mengamalkannya
secara baik, dalam kehidupan bersama sebagai anggota jemaat maupun anggota
masyarakat.
Gereja telah memainkan fungsi mendidik dan mengajar terkait
dengan masalah hukum dan hak asasi manusia secara baik. Terkait dengan hak
asasi manusia, Bagir Manan (2001:60 ) mengatakan bahwa bentuk lain dari upaya
aktualisasi hak asasi manusia yaitu dengan cara menjadikan hak asasi manusia
sebagai tatanan sosial yakni sebagai sesuatu yang hidup di tengah- tengah
masyarakat baik dalam tatanan politis ekonomi dan sosial di masyarakat. Dalam
kerangka itu pendidikan kemasyarakatan hak asasi manusia perlu dilakukan secara
terus menerus.
Walaupun demikian patut diakui masih banyak hal yang kurang,
karena hasil survey pada beberapa jemaat di wilayah Klasis Kota Ambon, baik para
pelayan maupun anggota jemaat dalam berbagai strata, belum sepenuhnya memahami
dengan baik apa sesungguhnya makna atau arti dari hukum, maupun hak asasi
manusia baik formal maupun materiil.
Terkait dengan tujuan hukum sebagian besar responden atau
89,80 % mengakui mengetahui tentang tujuan hukum. Jika dihubungkan dengan
perilaku masyarakat pada semua strata maka dapat dikatakan bahwa pengetahuan
tersebut hanya bersifat formalitas belaka. Pengaruh hukum dalam menata
kehidupan masyarakat ternyata 80,11 % responden mengatakan bahwa
hukum-hukum mempunyai pengaruh, namun ada 2,15 % mengatakan bahwa
hukum tidak berpengaruh, sedangkan 6,99 % mengatakan tidak tahu. Terkait
dengan penegakan hukum ternyata 60,75 % responden mengatakan bahwa penegakan
hukum belum maksimal. Terkait dengan kesan, ternyata 21,51 % mempunyai kesan
buruk terhadap hokum, sedangkan 17,74% mengatakan penegakan hukum baik.
Terdapat suatu kesadaran yang sungguh dalam masyarakat bahwa penegakan
hukum menjadi tanggungjawab semua elemen atau 77,42 %, sedangkan terkait
dengan kinerja aparatur penegak hukum 38,17 % mengatakan kinerja baik,
sedangkan 47,31% mengatakan kinerja aparatur penegak hukum kurang baik dan 9,14
% mengatakan kinerja buruk. Masalah- masalah yang paling menonjol di Kota Ambon
adalah masalah Pidana dengan prosentase 58,60 %. Masyarakat sadar betul bahwa
tanggungjawab dari lembaga-lembaga dalam rangka turut serta memberikan
solusi dalam peyelesaian masalah hukum adalah pemerintah, gereja dan masyarakat
dengan prosentase 62,90%. Pemerintah sendiri mendapat sorotan utama sebagai
pihak yang bertanggungjawab yakni 31,18 %.
Kesadaran hukum masyarakat untuk melapor berbagai kasus yang
terjadi di lingkungan sekitarnya 51,10 % responden sering berhubungan dengan
RT/RW, sedangkan 40 % berhubungan dengan Polisi.
Berdasarkan hasil survey di atas maka dapat dikatakan bahwa
masyarakat masih menggantungkan harapannya kepada aparatur penegakan hukum
untuk menegakkan hukum secara baik, walaupun dalam kenyataan masih tetap
menilai kinerja aparatur penegakan hukum masih kurang baik atau buruk. Harapan
untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum tidak saja pada pemerintah, tetapi juga
kepada gereja dan masyarakat sendiri.Hal ini menarik untuk dikaji karena
penyelesaian kasus-kasus hukum sebenarnya dapat diselesaikan secara persuasif
dan damai, sehingga tidak selamanya harus diselesaikan secara formal melalui
lembaga-lembaga pemerintahan.
Hasil survey terkait dengan hak asai manusia menunjukan
bahwa terdapat anggota masyarakat atau jemaat juga yang belum tahu sama sekali
tentang hak asasi manusia ( 0,54 % ), sedangkan 54,30 % responden mengetahui
hak asasi manusia dari berbagai media termasuk buku teks. 77,96 %
responden mengatakan faham benar tentang hak asasi manusia, sedangkan 15,59 %
mengatakan kurang faham dan 3,76 % mengatakan tidakfaham sama sekali tentang
hak asasi manusia, sisanya tidak memberikan jawaban. Terkait dengan perlunya
perlindungan hak asasi manusia, 94,09 % mengatakan perlu adanya perlindungan
hak asasi manusia, 0,54 % tidak perlu mengatakan dan 5,38 % tidak memberikan
jawaban. Untuk pemenuhan hak asasi manusia 99,46 % mengatakan perlu pemenuhan,
sedangkan 0,54 % mengatakan tidak perlu. Tanggungjawab terkait dengan masalah
hak asasi manusia masih diberikan kepada Pemerintah, Lembaga Hukum dan
masyarakat ( 47,30 % ). Banyak responden (59 %) yang tidak mempunyai pengalaman
atau mengalami kasus-kasus dalam bidang hak asasi manusia. Pelaku pelanggaran
hak asasi manusia lebih banyak diarahkan pada lembaga-lembaga hukum ( 24,73 %
), dan Pemerintah ( 17 % ).
Hal menarik yang ditemukan adalah bahwa 63,44 % responden
menjawab bahwa gereja secara institusi juga berpeluang melakukan pelanggaran
hak asasi manusia, namun 77,56 % responden mengakui gereja berperan dalam
memperjuangkan hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia terhadap
kelompok-kelompok rentan seperti perempuan dan anak sangat mungkin terjadi, hal
itu terlihat dari 91,40 % responden mengakuinya, sedangkan 8,40 % tidak yakin
hal itu terjadi.
Dalam upaya untuk melindungi hak-hak asasi manusia maka
lembaga yang menjadi tempat untuk pertolongan pertama adalah Ketua Rukun
Tetangga 38,17 %, Polisi 28,49 %, Gereja 5,91 %, Pemerintah Desa 8,06 %, Komnas
Daerah 1,61 %.
Terkait dengan hak asasi manusia, walaupun dalam kenyataan
hampir setiap orang bergelut dengan masalah-masalah tersebut, malah latah
menyebutnya dalam tata pergaulan jemaat maupun masyarakat, namun belum
sepenuhnya memahami hak-hak asasi manusia.
Steven Tong ( 1999 : 6-7 ) mengatakan bahwa hak asasi
manusia memang diberikan oleh Tuhan, tetapi justru hak asasi itu telah
dipermainkan oleh manusia. Ditegaskan lebih lanjut bahwa manusia itu adalah
gambar dan teladan Allah, sehingga manusia itu bernilai dan tidak dapat diganti
dengan uang.Dengan demikian Allah merupakan induk dari nilai dan manusia wujud
kemuliaan Allah.
Di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai yang mengandung
penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Terkait dengan
KeTuhanan Yang Maha Esa, mak Oemar Senoadji mengatakan bahwa hak merupakan causa
prima atau sebab utama dan pertama, sebagai asal dari segala kehidupan yang
mengajarkan persamaan, keadilan, kasih sayang dan kehidupan yang tentram dan
semua ini merupakan pengakuan terhadap hak asasi manusia. ( Oemar Senoadji
dalam Ramlon Naning : 1983 : 32 ).
Upaya penegakan dan perlindungan hukum serta hak asasi
manusia di Indonesia saat ini dan juga di Kota Ambon khususnya, belum
dilaksanakan secara maksimal sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan
nilai-nilai yang hidup dalam msyarakat. Hal ini masih banyak berada pada
tataran wacana, namun tindakan nyata masih jauh dari harapan masyarakat yakni
terciptanya kedamaian, keadilan dan kesejahteraan serta kepastian hukum.
7. PENUTUP
Berdasarkan uraian–uraian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa upaya penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia akan
berlangsung dengan baik, jika mental dan moral aparatur penegak hukum,
masyarakat ( anggota Jemaat ) termasuk semua komponen masyarakat lainnya,
berubah seirama dengan nilai-nilai sosial dan keagamaan yang hidup dalam
masyarakat. Jadi intinya upaya penegakan hukum dan hak asasi manusia tergantung
pada manusia sebagai pemegang kendali dari seluruh aspek kehidupan masyarakat
termasuk kehidupan berjemaat.
Gereja sudah berperan secara aktif sebagai bagian dari civil
society, namun membutuhkan peran dan tanggungjawab yang lebih nyata,
sehingga menjadi lembaga yang disegani dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Penegakan hukum dan hak asasi manusia yang harmonis akan
tercipta jika semua komponen bersatu dan berada dalam arak-arakan perjuangan
untuk mencapai sasaran atau tujuan yang diinginkan, yakni kepentingan manusia
dan kemanusiaan.
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat disampikan untuk
didiskusikan.Semoga bermanfaat.Syalom.
sangat bermanfaat trima kasih ^^
BalasHapusPenjelasan nya sangat mudah di pahami....terimaksih
BalasHapusM... S... K..... S.....
Hapusijin copi yakkk???thanks
BalasHapussangat membantu saya, makasii
BalasHapusMy blog