HUKUM ORANG dan keluarga
PENULIS
TITO ANGGA PRANATA
NIM
080710101123
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
JEMBER
Manusia Sebagai Subjek Hukum
Pertemuan keempat, merupakan perkuliahan awal yang telah
memasuki pembahasan bab 2 yang di bahas adalah hukum tentang orang, namun dalam
pembahasannya dikaitkan juga dengan pembahasan hukum perkawinan, hal ini
disebabkan bahwa masalah perkawinan dalam sistematika BW/KUHPerdata dimasukan
kedalam pembahasan hukum orang, namun pada pertemuan keempat ini pembahasan
lebih difokuskan tentang manusia sebagai subjek hukum yang terdapat
beberapa aspek yang perlu dibahas di dalamnya, antara alain :
a). Manusia
Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika
yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindra dan mempunyai budaya.
Sedangkan orang adalah pengertian juridis ialah gejala dalam hidup
bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau
person. Menurut hukum modern, seperti hukum yang
berlaku sekarang di Indonesia, setiap manusia diakui sebagai manusia
pribadi. Artinya diakui sebagai orang atau person. Karena itu setiap
manusia diakui sebagai subjek hukum (rechtspersoonlijkheid) yaitu pendukung hak
dan kewajiban. Hak dan kewajiban perdata tidak tergantung kepada agama,
golongan, kelamin, umur, warganegara ataupun orang asing. Demikian pula
hak dan kewajiban perdata tidak tergantung pula kepada kaya atau miskin,
kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun
rakyat biasa, semuanya sama.
Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagaimana dimaksudkan, dimulai
sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau meninggal dunia.
Pengecualiannya sebagai mendukung hak dan kewajiban dalam KUHPerdata
ditergaskan pada pasal 2 yang menentukan sebagai berikut :
(1)
Anak yang ada dalam kandungan
seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan
si anak menghendakinya;
(2)
Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah
ia tak pernah telah ada".
Ketentuan yang termuat dalam pasal 2 BW di atas ini sering disebut
"rechtsfictie". Ketentuan ini sangat penting dalam hal warisan
misalnya. Demikian juga dalam pasal 236 KUHPerdata ditentukan; “bahwa seseorang
hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia telah ada pada saat pewaris meninggal
dunia”. Hal ini berarti, bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris
kalau ia hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris meninggal dunia.
Akan tetapi dengan adanya pasal 2 BW, seorang anak yang masih dalam kandungan
ibunya sudah dianggap seolah-olah sudah dilahirkan, manakala anggapan ini
menjadi keuntungan si anak. Tapi kalau anak dalam kandungan itu kemudian
dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tak pernah telah ada. Artinya
kalau anak (bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat
ditentukan maka ia ketika dalam kandungan dianggap sudah hidup, sehingga dalam
kandunganpun ia sudah merupakan orang yakni pendukung hak. Pentingnya pasal 2
BW terlihat pada contoh kasus sebagai berikut. Seorang ayah pada tanggal
1 Agustus 1984 meninggal dunia. Pada saat meninggal dunia ini ia mempunyai dua
orang anak, sedangkan istrinya dalam keadaan hamil (mengandung).
Seandainya pasal 2 BW tidak ada, maka yang menjadi ahli waris kalau ayah yang
meninggal dunia itu tidak meninggalkan wasiat hanyalah dua orang anaknya dan
jandanya (istrinya). Pada tanggal 1 September 1984 dalam kandungan istri itu
lahir hidup dan segar bugar. Kalu pasal 2 BW itu tidak ada, maka boedel warisan
yang ditinggalkan ayahnya hanya dibagi antara saudara-saudaranya dan ibunya,
yang masing-masing mendapat sepertiga, sedangka ia yang masih dalam kandungan
ketika ayahnya meninggal dunia tidak mendapat apa-apa. Keadaan ini
dirasakan tidak adil,
namun keberadaan Pasal 2 BW tersebut dimaksudkan untuk meniadakan ketidakadilan
itu, sehingga anak yang ada dalam kandunganpun merupakan ahli waris.
Karena itu bagian dari masing-masing ahli waris pada contoh kasus di atas ini
adalah seperempat (tiga anak dan seorang istri/janda). Pembagian ini juga
berlaku seandainya anak itu hanya hidup sedetik. Adapun bagiannya mendaji
warisan. Jadi anak yang hidup sedetik dan kemudian meninggal itu menjadi
pewaris. Sedang yang menjadi ahli warisnya adalah saudara-saudaranya dan
ibunya.
Sebagaimana telah dikatakan bahwa berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak
dan kewajiban dalam perdata adalah apabila ia meninggal dunia. Artinya
selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan
berhak. Pasal 3 BW menyatakan :"Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan
kematian perdata, atau kehilangan segala hak perdata". Tetapi ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kewenangan berhak seseorang yang sifatnya membatasi
kewenangan berhak tersebut antara lain adalah :
1.
Kewarga-negaraan; misalnya dalam
pasal 21 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa hanya warganegara Indonesia yang dapat
mempunyai hak milik;
2.
Tempat tinggal; misalnya dalam psal
3 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1960 dan pasal I Peraturan
Pemerintah No. 41 tahun 1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e) jo. pasal 10 ayat (2)
UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat
tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya;
3.
Kedudukan atau Jabatan; misalnya
hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih
dalam perkara.
4.
Tingkah laku atau Perbuatan;
misalnya dalam pasal 49 dan 53 Undang-undang No. 1 tahun 1974 disebutkan, bahwa
kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam
hal ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai orang tua /wali atau berkelakuan
buruk sekali.
b). Ketidak Cakapan
Selanjutnya meskipun setiap orang tiada terkecuali sebagai pendukung hak dan
kewajiban atau subjek hukum (rechtspersoonlijkheid), namun tidak semuanya cakap
untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid). Orang-orang yang
menurut undang-udang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum
adalah :
1.
Orang yang belum dewasa, yaitu anak
yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan
(pasal 1330 BW jo pasal 47 UU no. 1 tahun 1974);
2.
Orang-orang yang ditaruh di bawah
pengampuan, yaitu orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata
gelap, dan pemboros (pasal 1330 BW jo pasal 433 BW);
3.
Orang-orang yang dilarang
undang-undang melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu,
misalnya orang dinyatakan pailit (pasal 1330 BW jo UU Kepailitan).
Jadi orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang
dewasa dan sehat akal fikirannya serta tidak dilarang oleh suatu
undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Orang-orang
yang belum dewasa dan orang-orang ditaruh di bawah pengampuan (curatele) dalam
melakukan perbuatan-perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya atau
pengampunya (curator). Sedangkan penyelesaian hutang-piutang orang-orang
yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta
Peninggalan
(weeskamer).
Uraian di atas dapat dikatakan; bahwa setiap orang adalah subyek hukum
(rechtspersoonlijkheid) yakni pendukung hak dan kewajiban, namun tidak semua
orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap untuk
melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) tidak selalu berwenang untuk
melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegheid). Dengan demikian rechtbekwaamheid
adalah syarat umum sedangkan rechtsbevoegheid adalah syarat
khusus untuk melakukan perbuatan hukum.
c). Pendewasaan
Dalam sistim hukum perdata (BW), mereka yang belum dewasa tetapi harus
melakukan perbuatan-perbuatan hukum seorang dewasa, terdapat lembaga hukum
pendewasaan (handlichting), - yang diatur pada pasal-pasal 419 s/d 432.
Pendewasaan merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadap
orang-orang yang belum mencapai umur 21 tahun. Jadi maksudnya adalah
memberikan kedudukan hukum (penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada
orang-orang yang belum dewasa. Pendewasaan penuh hanya diberikan kepada
orang-orang yang telah mencapi umur 18 tahun, yang diberikan dengan Keputusan
Pengadilan Negeri. Akan tetapi lembaga pendewasaan (handlichting) ini sekarang
sudah tidak relevan lagi dengan adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 (pasal 47
ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) yang menentukan bahwa seseorang yang telah
mencapai umur 18 tahun adalah dewasa. Ketentuan Undang-Undang Perkawinan
yang menetapkan umur seorang dewasa 18 tahun itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung
dalam Putusannya tanggal 2 Desember 1976 No. 477 K/Sip/76 dalam perkara
perdata antara Masrul Susanto alias Tan Kim Tjiang vs Ny. Tjiang Kim Ho.
Dalam pergaulan hidup di masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang
sedemikian banyaknya, maka sudah tentu diperlukan adanya tanda untuk membedakan
orang yang satu dengan orang yang lain, selanjutnya untuk mengetahui apa yang
merupakan hak-haknya dan apa pula yang merupakan kewajiban-kewajibannya tandan
yang diperlukan ialah nama.
d). Nama
Bagi golongan eropa dan mereka yang dipersamakan, soal nama mereka ini diatur
dalam Buku I titel II bagian kedua (pasal 5 a s/d 12) yang menentukan tentang
nama-nama, perubahan nama-nama, dan perubahan nama-nama depan. Akan
tetapi dengan adanya Undang-Undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur tentang
penggantian nama, maka pasal-pasal BW tentang nama yang telah diatur
dalam undang-undang ini tidak berlaku lagi. Masalah nama bagi orang-orang golongan
Eropah dan mereka yang dipersamakan, merupakan hal yang cukup penting, karena
nama itu merupakan indentifikasi seseorang sebagai subjek hukum. Bahwa
dari nama itu sudah dapat diketahui keturunan siapa seorang yang
bersangkutan. Hal mana sangat penting dalam urusan pembagian warisan
serta soal-soal lain yang berhubungan dengan kekeluargaan. Nama seorang
golongan Eropah pada umumnya terdiri dari dua bagian yaitu "nama
kecil" (misalnya Karel, Jan Rebert, dan sebagainya) yang biasa diberikan
sendiri oleh orang tuannya dan "nama keluarga" seperti (Bakker, Koch,
Tounssen dan sebagainya) yang dipakai oleh bapak dan ibunya.
e). Tempat Tinggal
Selain dari pada nama, untuk lebih jelas lagi siapa yang mempunyai suatu
hak/atau kewajiban serta dengan siap seorang mengadakan hubungan hukum, maka
dalam hukum perdata ditentukan pula tentang tempat tinggal (domisili).
Kepentingan adanya ketentuan tentang tempat tinggal (domisili) dimana ia
berkediaman pokok. Tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman
tertentu, maka tempat tinggal dianggap dimana ia sungguh-sungguh berada. Tempat
tingggal dibedakan atas 2 macam :
1.
Tempat tinggal yang sesungguhnya. Di
tempat tinggal sesungguhnya inilah biasanya seseorang melakukan hak-haknya dan
memenuhi kewajiban-kewajiban perdata pada umumnya. Tempat tinggal yang
sesungghnya dapat dibedakan pula atas 2 macam, yakni :
- Tempat
tinggal yang bebas atau yang berdiri sendiri, tidak terikat/tergantung
pada hubungannya dengan pihak lain.
- Tempat
tinggal yang tidak bebas, yakni tempat tinggal yang terikat / tergantung
pada hubungannya dengan pihak lain. Misalnya : tempat tinggal
anak yang belum dewasa dirumah orang tuanya/walinya; tempat tinggal orang
yang berada dibawah pengampuan dirumah pengampunya. Buruh mempunyai tempat
tinggal dirumah majikannya jika mereka tinggal bersama majikannya.
2.
Tempat tinggal yang dipilih.
Dalam suatu sengketa dimuka pengadilan, kedua belah pihak yang berpekara atau
salah satu dari mereka dapat memilih tempat tinggal lain dari pada tempat
tinggal mereka yang sebenarnya. Pemilihan tempat tinggal ini dilakukan
dengan suatu akta. Diadakannya tempat tinggal yang dipilih itu dimaksudkan
untuk memudahkan pihak lain maupun untuk kepentingan pihak yang memilih tempat
tinggal tersebut.
Kemudian rumha kematian yang sering terpakai dalam
Undang-Undang tidak lain seperti domisili pengahabisan dari orang yang
meninggal pengertian ini adalah penting untuk menentukan beberapa hal seperti :
pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili tentang warisan yang
dipersengketakan ; pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili tuntutan
siberpiutang dan sebagainya. Sedangkan bagi badan hukum biasanya tidak
dikatakan dengan istilah "tempat tinggal / kematian" melainkan
"tempat kedudukan". Secara yuridis tempat kedudukan suatu badan
hukum ialah tempat dimana pengurusnya menetap. Menurut beberapa arrest dari
Hoog Raad. Ketentuan-ketentuan mengenai tempat tinggal yang memuat dalam
BW Buku I pasal 17 s/d 25, juga berlaku dalam memperlakukan Undang-Undang Tata
Usaha maupun Undang-Undang lainnya, sepanjang undang-undang itu tidak
menentukan lain.
f). Keadaan Tidak Hadir
Bilamana seseorang untuk waktu yang pendek maupun waktu yang lama meninggalkan
tempat tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia memberikan kuasa kepada orang lain
untuk mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya, maka keadaan tidak
ditempat orang itu tidak menimbulkan persoalan. Akan tetapi bilamana
orang yang pergi meninggalkan tempat tinggal tersebut sebelumnya tidak memeberikan
kuasa apapun kepada orang lain untuk mewakili dirinya maupun untuk mengurus
harta kekayaannya dan segala kepentingannya, maka keadaan tidak ditempatnya
orang itu menimbulkan persoalan, siapa yang mewakili dirinya dan bagaimana
mengurus harta kekayaannya. Meskipun orang yang meninggalkan tempat tinggal itu
tidak kehilangan statusnya sebagai persoon atau sebagai subjek hukum, namun
keadaan tidak ditempat (keadaan tidak hadir - afwezigheid) orang tersebut
menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga oleh karena itu pembentuk
undang-undang perlu mengaturnya.
Ketentuan mengenai keadaan tidak di tempat atau keadaan tak hadir (afwezigheid)
termuat dalam BW Buku I pasal 463 s/d 495 dan dalam Stb. 1946 No. 137 jo
Bilblad V dan Stb. 1949 No. 451. Undang-Undang mengatur keadaan tidak ditempat
atas tiga masa atau tingkatan, yaitu masa persiapan (pasal 463 s/d 466), masa
yang berhubungan dengan penyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu
mungkin meninggal dunia (pasal 467 s/d 483) dan masa pewarisan secara difinitif
(pasal 484).
Dalam masa persiapan (tindakan sementara) tidak perlu ada
keraguan apakah orang yang meninggalkan tempat tingal itu masih hidup atau
sudah meninggal dunia ; akan tetapi ada alasan yang mendesak guna mengurus
seluruh atau sebagian harta kekayaannya atau guna mengadakan seorang wakil
baginya. Pada masa ini Pengadilan Negeri tempat tinggal orang yang
keadaan tak hadir itu menunjuk Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk
menjadi pengurus harta kekayaan dan segal urusan orang tersebut.
Sekiranya harta kekayaan dan kepentingan orang yang tidak ditempat tidak
banyak, maka untuk mengurus harta kekayaan dan mewakili kepentingannya itu,
Pengadilan Negeri dapat memerintahkan kepada seorang atau lebih dari keluarga
sedarah atau semenda atau kepada istri atau suaminya.
Masa yang berhubungan dengan kenyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu
mungkin meninggal dunia, yaitu setelah lewat 5 tahun sejak keberangkatannya
dari tempat tinggalnya atau 5 tahun sejak diperolehnya kabar terakhir yang
membuktikan bahwa pada waktu itu ia masih hidup, setelah diadakan pemanggilan
secara umum dengan memuat di surat kabar sebanyak 3 kali. Hak-hak dan
kewajiban-kewajiban orang yang tidak ditempat beralih kepada ahli warisnya,
tetapi ini hanya bersifat sementara dan dengan pembatasan-pembatasan.
Sedangkan masa pewarisan secara definitif adalah masa dimana persangkaan bahwa
orang yang tidak ditempat itu telah meninggal dunia semakin kuat yaitu setelah
lampau 30 tahun sejak hari pernyataan kemungkinan meninggal dunia atau setelah
lampau 100 tahun terhitung sejak hari lahir orang yang tidak ditempat itu.
Meskipun demikian dalam setiap masa itu orang yang tidak ditempat tersebut
tetap mempunyai wewenang berhak dan wewenang bertindak atas harta kekayaan yang
ditinggalkannya, dimana kalau ia muncul kembali maka hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya kembali kepadanya dengan pembatasan-pembatasan tertentu
(pasal 486 dan pasal 487). Kemudian dalam pasal 489 s/d 492 diatur tentang
akibat-akibat keadaan ditempat yang berhubungan dengan perkawinan. Tapi dengan
berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal-pasal BW
mengenai afwezigheid yang behubungan dengan perkawinan ini kiranya sudah tidak
relevan lagi.
Pentingnya pengaturan mengenai keadaan tidak ditempat atau keadaan tak hadir
terutama adalah pada masa dahulu dimana hubungan antar daerah masih
sukar. Berbeda dengan zaman modern sekarang dimana hubungan antar daerah
atau antar negara sudah lancar. Untuk masa sekrang pengaturan mengenai keadaan
tidak ditempat tetap ada gunanya, satu dan hal-hal bila terjadi perang atau
terjadi kekacauan-kekacauan dimana orang banyak yang hilang dan perhubungan
dengan beberapa daerah atau negara terputus.
Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum
a. Pengertian Badan Hukum
Dalam pergaulan hukum ditengah-tengah masyarakat, ternyata manusia bukan
satu-satunya subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban), tetapi masih ada
subjek hukum lain yang sering disebut "badan hukum"
(rechtspersoon). Sebagai halnya subjek hukum manusia, badan hukum inipun
dapat mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban, serta dapat pula mengadakan
hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking/ rechtsverhouding) baik antara badan
hukum yang satu dengan badan hukum lain maupun antara badan hukum dengan orang
manusia (natuurlijkpersoon). Karena itu badan hukum dapat
mengadakan perjanjian-perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa dan segala
macam perbuatan dilapangan harta kekayaan.
Dengan demikian badan hukum ini adalah pendukung hak dan kewajiban yang tidak
berjiwa sebagai lawan pendukung hak dan kewajiban yang berjiwa yakni
manusia. Dan sebagai subjek hukum yang tidak berjiwa maka badan
hukum tidak dapat dan tidak mungkin berkecimpung di lapangan keluarga seperti
mengadakan perkawinan, melahirkan anak dan lain sebagainya. Adanya badan hukum
(rechtspersoon) disamping manusia tunggal (natuurlijkpersoon) adalah
suatu realita yang timbul sebagai suatu kebutuhan hukum pergaulan
ditengah-tengah masyarakat. Sebab, manusia selain mempnuayi kepentingan
perseorangan (individuil), juga mempunyai kepentingan bersama dan tujuan
bersama yang harus diperjuangkan bersama pula.
Karena itu mereka berkumpul mempersatukan diri dengan
membentuk suatu organisasi dan memilih pengurusnya untuk mewakili mereka.
Mereka juga memasukan harta kekayaan masing-masing menjadi milik bersama, dan
menetapkan peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku dikalangan mereka
anggota organisasi itu. Dalam pergaulan hukum, semua orang-orang yang mempunyai
kepentingan bersama yang tergabung dalam kesatuan kerjasama tersebut dianggap
perlu sebagai kesatuan yang baru, yang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
anggota-anggotanya serta dapat bertindak hukum sendiri.
b. Teori-Teori Tentang Badan Hukum
Untuk mengetahui hakikat daripada badan hukum, dalam ilmu pengetahuan hukum
timbul bermacam-macam teori tentang badan hukum yang satu sama lain berbeda-beda.
Ada beberapa teori mengenai badan hukum ini, antara lain:
a) Teori Fictie dari Von Savigny
Menurut teori ini badan hukum itu
semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fiksi, yankni
sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam
bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti
manusia. Teori ini diikuti juga oleh Houwing.
b) Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens
Theorie)
Menurut teori ini hanya manusia
saja yang dapat menjadi subjek hukum. namun, kata teori ini ada kekayaan
(Vermogen) yang bukan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat tujuan
tertentu. Kekayaan yang tidak ada mempunyainya dan yang tidak terikat kepada
tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum. Teori ini diajarkan oleh
A. Brinz, dan diikuti oleh Van Der Heyden.
c) Teori Organ dari Otto Van Gierke
Badan hukum menurut teori ini bukan
abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan
hukum adalah suatu organisme yang riel, yang menjelma sungguh-sungguh
dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan
perantaraan alat-alat yang ada padanya (penguru, anggota-anggotanya)
seperti manusia biasa, yang mempunyai panca indra dan sebagainya.
Pengikut teori organ ini antara lain Mr. L. Polano.
d) Teori Propriete Collective
Teori ini diajarkan oleh Planiol
dan Molengraaff. Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum pada
hakekatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan
badan hukum adalah kepunyai bersama-sama anggotanya. Orang yang berhimpun
tersebut merupakan suatu kesatuan yang membentuk suatu pribadi yang dinamakan
badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah suatu konstruksi
yuridis saja. Star Busmann dan Kranenburg adalah pengikut-pengikut ajaran
ini.
e) Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteitsleer)
Dikatakan bahwa badan hukum itu
merupakan suatu realiteit, kongkrit, riil, walaupun tidak bisa diraba bukan
hayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukakan oleh Mejers
ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia
terbatas sampai pada bidang hukum saja.
Meskipun teori-teori tentang badan
hukum tersebut berbeda-beda dalam memahami hakikat badan hukum, namun
teori-teori itu sependapat bahwa badan hukum dapat ikut berkecimpung dalam
pergaulan hukum di masyarakat, artinya hanya dalam lalu lintas hukum saja.
c. Pembagian Badan-Badan Hukum
Menurut pasal 1653 BW badan hukum di bagi atas 3 macam yaitu :
1.
Badan hukum yang diadakan oleh
pemerintah/kekuasaan umum misalnya daerah tingkat I, daerah tingkat II/
Kotamadya, Bank-bank yang didirikan oleh negara dan sebagainya.
2.
Badan hukum yang dikaui oleh
Pemerintah/kekuasaan umum, misalnya perkumpulan-perkumpulan, gereja dan
organisasi-organisasi agama dan sebagainya.
3.
Badan hukum yang didirikan untuk
suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan
kesusilaan, seperti PT, perkumpulan asuransi dan perkapalan.
Badan hukum dapat dilihat dari segi wujudnya maka dapat dibedakan atas 2 macam
:
1.
Koorperasi (coorporatie) adalah
gabungan (kumpulan) orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak
bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri. Karena itu korporasi ini
merupakan badan hukum yang beranggota, akan tetapi mempunyai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban para anggotanya. Misalnya PT (NV), perkumpulan asuransi,
perkapalan, koperasi, Indonesische Maatschappij op aandelen (IMA) dan sebagainya.
2.
Yayasan (stiching) adalah harta
kekayaan yang ditersendirikan untuk tujusn tertentu. Jadi pada yayasan tidak
ada anggota, yang ada hanyalah pengurusnya.
Batas antara korporasi dan yayasan tidak tegas, karenanya timbul beberapa
ajaran untuk membedakan korporasi itu dengan yayasan sebagai berikut :
a.
Pada korporasi para anggotanya
bersama-sama mempunyai kekayaan dan bermacam-macam kepentingan yang berwujud
dalam badan hukum itu; sedangkan pada yayasan kepentinan yayasan tidak terlekat
pada anggotanya, karena yayasan tidak mempunyai anggota.
b.
Dalam korporasi para anggota
bersama-sama merupakan organ yang memegang kekuasaan yang tertinggi; sedangkan
dalam yayasan yang memegang kekuasaan tertinggi adalah pengurusnya.
c.
Dalam korporasi yang menentukan
maksud dan tujuannya yang menentukan maksud dan tujuannya ditetapkan oleh
orang-orang yang mendirikan yang selanjutnya berdiri di luar badan tersebut.
d.
Pada korporasi titik berat pada
kekuasaannya dan kerjanya; sedangkan pada yayasan titik berat pada suatu
kekayaan yang ditujukan untuk mencapai sesuatu maksud tertentu.
Badan hukum ini dapat pula dibedakan atas dua jenis :
1. Badan hukum Publik
2. Badan Hukum privat
Di Indonesia kriterium yang dipakai untuk menentukan
suatu badan hukum termasuk pada hukum publik atau termasuk badan hukum privat
ada dua macam :
a.
Berdasarkan terjadinya, yakni
"Badan Hukum Privat" didirikan oleh perseorangan, sedangkan
"badan hukum publik" didirikan oleh pemerintah/negara.
b.
Berdasarkan lapangan kerjanya, yakni
apakah lapangan kerja itu untuk kepentingan umum atau tidak. Kalau lapangan
pekerjaannya utnuk kepentingan umum maka badan hukum tersebut merupakan badan
hukum publik, jika lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan maka
badan hukum itu termasuk badan hukum privat.
Badan Hukum Publik misalnya :
- Negara RI
- Daerah Tingkat I
- Daerah Tingkat II/Kotamadya
- Bank-bank Negara (Seperti Bank Indonesia)
Badan Hukum Privat misalnya :
- Perseroan Terbatas
- Koperasi
- Perkapalan
- Yayasan
- Dan lain-lain
d. Peraturan Tentang Badan Hukum (Rechtspersoon)
BW tidak mengatur secara lengkap dan sempurna tentang badan hukum. Dalam
BW ketentuan tentang badan hukum hanya termuat pada Buku III titel IX pasal 1653
s/d 1665 dengan istilah "van zedelijke lichamen" yang dipandang
sebagai perjanjian, karena itu lalu diatur dalam buku II tentang
Perikatan. Hal ini memnimbulkan keberatan para ahli karena badan hukum
adalah persoon, maka seharusnya dimasukkan dalam Buku I tentang orang.
Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang badan hukum ini antara lain
termuat dalam Stb. 1870 No. 64 tentang pengakuan badan hukum ; Stb. 1870
No. 64 tentang pengakuan badan hukum ; Stb. 1927 No. 156 tentang gereja
dan organisasi-organisasi agama; Stb. 1939 No. 570 jo 717 tentang badan
hukum Indonesia; Stb. 1939 No. 569 jo, 717 tentang Indonesische maatschappij op
aandelen (IMA); Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tentang PT yang telah dicabut
dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1995 Tentang PT, Undang-undang
Yayasan No. 31 Tahun 2000, Perseroan Perkapalan dan perkumpulan asuransi ;
Undang-Undang pokok Perkoperasian yang mengatur tentang badan hukum koperasi;
dan lain-lain.
Dalam pada itu, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
suatu badan/perkumpulan/ badan usaha agar dapat dikatakan sebagai badan hukum
(rechtspersoon). Menurut doktrin syarat-syarat itu adalah sebagai
berikut di bawah ini :
1)
Adanya
harta kekayaan yang terpisah. Harta kekayaan ini diperoleh dari para anggota
maupun dari perbuatan pemisahan yang dilakukan seseorang/partikelir/pemerintah
untuk suatu tujuan tertentu. Adanya harta kekayaan ini dimaksudkan
sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pada badan hukum yang
bersangkutan. Harta kekayaan ini, meskipun berasal dari pemasukan
anggota-anggotanya, namun terpisah dengan harta kekayaan kepunyaan pribadi
anggota-anggotanya itu. Perbuatan pribadi anggota-anggotanya tidak mengikat
harta kekayaan tersebut, sebaliknya perbuatan badan hukum yang diwakili
pengurusnya tidak mengikat harta kekayaan anggota-anggotanya.
2) Mempunyai tujuan tertentu
Tujuan tertentu ini dapat berupa
tujuan yang idiil maupun tujuan komersiil yang merupakan tujuan tersendiri dari
pada badan hukum. Jadi bukan tujuan untuk kepentingan satu atau beberapa
orang anggotanya. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan sendiri oleh
badan hukum dengan diwakili organnya. Tujuan yang hendak dicapai itu lazimnya
dirumuskan dengan jelas dan tegas dalam anggaran dasar badan hukum yang
bersangkutan.
3) Mempunyai kepentingan sendiri
Dalam mencapai tujuannya, badan
hukum mempunyai kepentingan sendiri yang dilindungi oleh hukum.
Kepentinga-kepentingan tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat dari
peristiwa-peristiwa hukum. Oleh karena itu badan hukum mempunyai kepentingan
sendiri dan dapat menuntut serta mempertahankannya terhadap pihak ketiga dalam
pergaulan hukumnya. Kepentingan sendiri dari badan hukum ini harus
stabil, artinya tidak terikat pada suatu-waktu yang pendek, tetapi untuk jangka
waktu yang panjang.
4) Ada organisasi yang teratur
Badan hukum adalah suatu konstruksi
yuridis. Karena itu sebagai subjek hukum disamping manusia badan hukum
hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan organnya.
Bagaimana tata cara organ badan hukum yang terdiri dari manusia itu bertindak
mewakili badan hukum, bagaimana organ itu dipilih, diganti dan sebagainya
diatur dalam anggaran dasar dan peraturan-peraturan lain atau keputusan rapat
anggota yang tiada lain dari pada pembagian tugas. Dengan demikian badan
hukum mempunyai organisasi. Pada akhirnya yang menentukan suatu
badan/perkumpulan atau perhimpunan sebagai badan hukum atau tidak adalah
hukum positif yakni hukum yang berlaku pada suatu daerah / negara tertentu,
pada waktu tertentu dan pada masyarakat tertentu. Misalnya di Perancis
dan Belgia, hukum positifnya mengakui perseroan Firma sebagai badan
hukum. Sedangkan di Indonesia hukum positifnya tidak mengakuinya sebagai
badan hukum.
Syarat mutlak untuk diakui sebagai badan hukum, himpunan/perkumpulan/badan
hukum itu harus mendapat izin dari Pemerintah cq. Departemen Kehakiman (d/h
Gubernur Jenderal - pasal 1 Stb. 1870 No. 64).
e. Perbuatan Badan Hukum
Sebagaimana dikatakan, bahwa badan hukum adalah subjek hukum yang berjiwa
seperti manusia, karena itu badan hukum tidak dapat melakukan
perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan harus diwakili oleh orang-orang
manusia biasa. Namun orang-orang ini bertindak bukan untuk dirinya sendir
tetapi untuk dan atas nama badan hukum. Orang-orang yang bertindak untuk dan
atas nama badan hukum ini disebut "organ" (alat perlengkapan seperti
pengurus, direksi dan sebagainya) dari badan hukum yang merupakan unsur penting
dari organisasi badan hukum itu.
Bagaimana organ dari badan hukum itu berbuat dan apa saja yang harus
diperbuatnya serta apa saja yang tidak boleh diperbuatnya, lazimnya semua ini
ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan maupun dalam
peraturan-peraturan lainnya. Dengan demikian organ badan hukum
tersebut tidak dapat berbuat sewenang-wenang, tetapi dibatasi sedemikian rupa
oleh ketentuan-ketentuan intern yang berlaku dalam badan hukum itu, baik
yang termuat dalam anggaran dasar maupun peraturan-peraturan lainnya.
Tindakkan organ badan hukum yang melampaui batas-batas yang telah ditentukan,
tidak menjadi tanggung jawab badan hukum, tetapi menjadi tanggung jawab pribadi
organ yang bertindak melampaui batas itu, terkecuali tindakan itu menguntungkan
badan hukum, atau organ yang lebih tinggi kedudukannya kemudian menyetujui
tindakan itu. Persetujuan organ yang kedudukannya lebih tinggi ini harus masih
dalam batas-batas kompetensinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang
termuat dalam pasal 1656 BW yang menyatakan : "Segala perbuatan, untuk
mana para pengurusnya tidak berkuasa melakukannya, hanyalah mengikat
perkumpulan sekedar perkumpulan itu sungguh-sungguh telah mendapat manfaat
karenanya atau sekedar perbuatan-perbuatan itu terkemudian telah disetujui
secara sah".
f. Prosedur Pembentukan Badan Hukum
Pembentukan badan hukum dapat dilakukan, baik melalui peraturan
perundang-undangan maupun dengan perjanjian. Badan hukum yang dibentuk melalui
peraturan perundang-undangan, status badan hukum itu ditetapkan oleh
undang-undang, misalnya pembentukan Perum, Persero, Perjan dan lain-lain.
Sebaliknya badan hukum yang dibentuk melalui perjanjian, status badan hukum itu
diakui oleh Pemerintah melalui pengesahan anggaran dasar yang termuat dalam
akta pendirian. Anggaran dasar itu adalah kesepakatan yang dibuat para pendiri,
misalnya dalam pendirian PT, Koperasi dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar