PENULIS TITO ANGGA PRANATA
NIM 080710101123
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
Dalam
kurikulum Pendidikan Tinggi Ilmu Hukum di Indonesia pada awal berdirinya telah
ditemui berbagai istilah dan atau penamaan dari “hukum perdata”, baik itu pada
Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum maupun Akademi Hukumnya. Istilah dan
atau penamaan hukum perdata dimaksud, dikenalkan dengan berbagai istilah dan
atau penamaan hukum perdata di dalam kurikulum pendidikannya. Demikian
juga halnya dengan kalangan sarjana hukum, namun demikian, dengan adanya
Konsorsium Ilmu Hukum, menurut Z. Ansori Ahmad "dalam khazanah ilmu hukum
di Indonesia, pernah dikenal adanya istilah dan pembedaan antara Hukum Perdata
BW dan Perdata Adat (Z.A. Ahmad, 1986 : 1).
Pembedaan
sebagaimana dimaksudkan, dapat diartikan erat hubungannya dengan sejarah dan
sisa-sisa politik masa lampau dari Penjajahan Kolonial Belanda, yang sampai
saat ini masih tetap berlaku sebagai hukum positif berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945. Sementara itu dalam penamaan istilahnya, konsorsium ilmu
hukum, mempergunakan istilah "hukum perdata" ditujukan untuk
"hukum perdata BW" dan hukum adat untuk "hukum perdata
adat". Kenyataan ini dapat diartikan, bahwa dibidang hukum perdata terjadi
dualisme, di mana untuk golongan Erofah diberlakukan hukum perdata (BW)
sebaliknya untuk golongan bumi putera diberlakukan hukum adat mereka, sementara
itu mengenai hukum perdata BW di maksud, diberlakukanlah di daerah Hindia
Belanda dengan menggunakan asas konkordansi.
Kata-kata
perdata sebagaimana dimaksudkan pertama kali secara resmi terdapat dalam
perundang-undangan Indonesia ditemui dalam Konstitusi RIS yakni pada Pasal 15
ayat 2, Pasal 144 ayat 1 dan Pasal 158 ayat 1. Dalam UUDS RI Tahun 1950 istilah
perdata dapat dilihat pada pasal 15 ayat 2, Pasal 101 ayat 1 dan Pasal 106 ayat
3. Beranjak dari ketentuan –ketentuan tersebut, terutama penggunaan istilah hukum
perdata merupakan alih bahasa dari bahasa Belanda yakni burgerlijk recht,
hal ini secara resmi dapat dilihat dalam Pasal 102 UUDS, demikian juga dapat
dilihat dalam Undang-undang Darurat No. 5 Tahun 1952 Tentang Bank Industri
Negara yang termuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1952 No. 21 pada tanggal 20
Pebruari Tahun 1952 dan diundangkan pada tanggal 28 Pebruari Tahun 1952.
Padanan istilah yang sama dengan burgerlijk recht tersebut adalah civiel
recht dan atau privat recht, dalam hal mana burger
diartikan sebagai warga masyarakat, sedangkan privat diartikan dengan
pribadi, sebaliknya civiel berarti warga masyarakat.
Keadaan
tersebut, jika dilihat dalam bahasa Inggrisnya, hukum perdata dikenal dengan istilah
civil law.Kata civil berasal dari bahasa Latin yakni
“civis”yang berarti warga negara.Hal tersebut berarti, bahwa civil law
atau hukum sipil itu merupakan hukum yang mengatur tentang masalah-masalah yang
berkaitan dengan hak-hak warga negara dan atau perseorangan. Beranjak dari itu,
jika dilihat dari berbagai literatur yang ditulis para sarjana, juga
dijumpai berbagai macam definisi hukum perdata, terkadang satu sama
lainnya berbeda-beda, namun tidak menunjukan perbedaan yang tidak terlalu
prinsipil. Kebanyakan para sarjana menganggap hukum perdata sebagai hukum
yang mengatur kepentingan perseorangan (pribadi) yang berbeda dengan
"hukum publik" sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum
(masyarakat).
Dalam
uraian berikut dikemukakan beberapa pandangan dari para ahli hukum berkaitan
dengan pengertian hukum perdata dimaksud, antara lain; H.F.A. Vollmar
memberikan suatu pengertian tentang hukum perdata sebagai berikut, hukum
perdata adalah :
“Aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan
pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada
kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara
kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu
masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu
lintas” (H.F.A. Vollmar, 1989: 2).
Selanjutnya
Sudikno Mertokusumo juga memberikan pengertian dari hukum perdata, menurut
beliau, hukum perdata adalah “hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan
kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan
kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat” (S. Mertokusumo, 1986: 108).
Sementara itu menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan," bahwa hukum
perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan
yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain (Sri Soedewi, 1975: 1).
Demikian juga Van Dunne memberikan pengertian hukum perdata sebagai berikut :
“hukum perdata merupakan suatu aturan yang mengatur tentang
hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu seperti orang dan
keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan
yang menimal bagi kehidupan pribadi” (Van Dunne, 1987:1).
Dari
beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli hukum di atas, maka secara
umum dapat dikelompokkan kedalam dua konsep pemahaman, dikatakan demikian
karena pengertian yang dikemukakan lebih memfokuskan kepada pengaturan
ketentuannya seperti apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi dan Van Dunne.
Sebaliknya pemahaman pengertian lainnya lebih menitik beratkan kepada aspek
perlindungan hukum dan ruang lingkup pembahasannya.Dikatakan demikian, karena
perlindungan hukum sebagaimana dimaksudkan sangat erat berkaitan dengan
perlindungan perseorangan dalam melakukan hubungan hukum dengan perseorangan
yang lainnya. Selanjutnya dalam hal ruang lingkup perhatiannya juga
menitik beratkan kepada adanya hubungan kekeluargaan di dalam pergaulan
masyarakat.
Beranjak
dari pemahaman pengertian hukum perdata di atas, dapat dikatakan bahwa pada
prinsipnya hukum perdata itu adalah;
“keseluruhan
aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan kepentingan
orang (persoon) yang satu dengan kepentingan orang (persoon) lainnya yang
terjadi karena hubungan kekeluargaan maupun akibat pergaulan dalam
masyarakat. Sementara itu, orang (persoon) sebagaimana dimaksudkan adalah dalam
pengertian yuridis, artinya disamping manusia sebagai subjek hukum,
termasuk juga kedalam pengertian orang (persoon) tersebut adalah badan
hukum walaupun hanya terbatas dalam lalu lintas hukum saja.
Hal
di atas berarti, bahwa hukum perdata pada dasarnya mengatur kepentingan orang
(persoon), namun tidak berarti semua hukum perdata secara murni mengatur
kepentingan orang (persoon) tersebut, dikatakan demikian, karena dalam
perkembangan kehidupan masyarakat banyak bidang-bidang hukum perdata yang telah
diwarnai sedemikian rupa oleh hukum publik, misalnya bidang perkawinan dan
perburuhan. Berkaitan dengan itu, sebenarnya hukum perdata tersebut dapat dilihat
dari berbagai sudut pandang, misalnya dari ruang lingkupnya dan
dari sudut isinya. Di lihat dari ruang lingkupnya, maka hukum perdata
ini terdiri atas :
1.
Hukum perdata dalam arti luas;
Hukum perdata dalam arti luas ini
termasuk kedalamnya, disamping apa yang diatur dalam hukum perdata BW juga
termasuk kedalamnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan yang
terdapat dalam hukum dagang (WvK) itu sendiri. Dikatakan demikian, hal ini
disebabkan keadaan yang ditimbulkan dalam perdagangan yang diatur dalam
hukum dagang (Wv) tidak bisa dilepaskan dari adanya perbuatan keperdataan itu
sendiri, seperti; jual beli, asuransi, pengangkutan dan sebagainya. Sedangkan
pemisahan pengaturan antara hukum perdata BW dengan hukum dagang (WvK) hanya
soal latar belakang sejarah pembuatannya, karena antara hukum perdata BW dan
hukum dagang (WvK) itu sendiri pada dasarnya adalah suatu hal yang tidak bisa
dipisahkan.
2.
Hukum perdata dalam arti sempit
Membicarakan hukum perdata dalam arti sempit, dalam hal ini pembahasannya lebih
terfokus dengan apa yang diatur dalam hukum perdata BW itu sendiri dan
peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah keperdataan.
Pada
pertemuan kedua ini dibahas tentang :
a.
sejarah terbentuknya Hukum Perdata BW;
b.
Kedudukan BW/KUHPerdata sebagai undang-undang setelah Indonesia merdeka
c. Hukum Perdata dan
Pemberlakuannya di Indonesia
Ad.
2. a. Sejarah terbentuknya Hukum Perdata BW;
Berkaitan dengan sejarah terbentuknya hukum perdataBW, dalam
hal ini tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Belanda. Sebaliknya sejarah terbentuknya Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Belanda juga tidak bisa dipisahkan dengan sejarah
terbentuknya Code Civil Perancis" (R.Syahrani, 1992 : 12). Perjalanan sejarah
dari terbentuknya BW ini, berawal dari 50 tahun sebelum Masehi, yakni saat
Julius Caesar berkuasa di Eropa Barat, hukum Romawi telah berlaku di Perancis
yang berdampingan dengan hukum Perancis Kuno yang berasal dari hukum Germania
yang saling mempengaruhi.
Suatu ketika wilayah negeri Perancis
terbelah menjadi dua daerah hukum yang berbeda. Bagian Utara adalah
daerah hukum yang tidak tertulis (pays de droit coutumier), sedangkan daerah
selatan merupakan daerah hukum yang tertulis (pays de droit ecrit). Di
Utara berlaku hukum kebiasaan Perancis Kuno yang berasal dari hukum Germania
sebelum resepsi hukum Romawi.sedangkan di Daerah Selatan berlaku hukum Romawi
yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis pada pertengahan abad ke VI Masehi
dari Justianus. Corpus Iuris Civilis pada zaman itu dianggap sebagai hukum yang
paling sempurna, terdiri dari 4 bagian, yaitu (1) Codex Justiniani, (2)
Pandecta, (Institutiones, dan (4) Novelles Codex Justianni berisi kumpulan
undang-undang (leges lex) yang telah dibukukan oleh para ahli hukum atas
perintah Kaisar Romawi yang dianggap sebagai himpunan segala macam
undang-undang. Pandecta memuat kumpulan pendapat para ahli hukum Romawi
yang termashur misalnya Gaius, Papinianus, Palus, Ulpianus, Modestinus dan
sebagainya. Institutiones memuat tentang pengertian lembaga-lembaga hukum
Romawi dan Novelles adalah kumpulan undang-undang yang dikeluarkan sesudah
codex selesai.Hanya mengenai perkawinan di seluruh negeri Perancis berlaku
Codex Iuris Canonici (hukum yang ditetapkan oleh Gereja Katolik
Roma).Berabad-abad lamanya keadaan ini berlangsung terus dengan tidak ada
kesatuan hukum.
Pada bagian kedua abad XVII
di negeri Perancis telah timbul aliran-aliran yang ingin menciptakan kodifikasi
hukum yang akan berlaku di negeri itu agar diperoleh kesatuan hukum
Perancis. Pada akhir abad XVII, oleh Raja Perancis dibuat beberapa
peraturan perundang-undangan (seperti ordonnance Sur les Donations yang
mengatur mengenai soal-soal pemberian, ordonnance Sur les Tertament yang mengatur
mengenai soal-soal testamen, ordonannce Sur les Substitutions fideicommissaires
yang mengatur mengenai soal-soal substitusi. Kodifikasi hukum Perdata di
Perancis baru berhasil diciptakan sesudah Revolusi Perancis (1789-1795), dimana
pada tanggal 12 Agustus 1800 oleh Napoleon dibentuk suatu panitia yang diserahi
tugas membuat kodifikasi, yang menjadi sumbernya adalah :
a. Hukum
Romawi yang digali dari hasil karya-karya para sarjana bangsa Perancis yang
kenamaan (Dumolin, Domat dan Pothier);
b. Hukum
Kebiasaan Perancis, lebih-lebih hukum kebiasaan dari Paris;
c. Ordonnance-Ordonnance;
d. Hukum
Intermediare yakni hukum yang ditetapkan di Perancis sejak permulaan Revolusi
Perancis hingga Code Civil terbentuk.
Kodifikasi hukum perdata Perancis,
sebagaimana dimaksudkan harus selesai dibentuk tahun 1804 dengan nama Code
Civil des Francais. Code Civil Prancis ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret
1804. Setelah diadakan perubahan sedikit disana-sini, pada tahun 1807
diundangkan dengan nama Code Napolion, tapi kemudian disebut dengan Code Civil
Perancis. Sejak tahun 1811 sampai tahun 1838 Code Civil Perancis ini
setelah disesuaikan dengan keadaan di negeri Belanda berlaku sebagai kitab
undang-undang yang resmi di negeri Belanda, karena negeri Belanda berada di
bawah jajahan Perancis. Di negeri Belanda setelah berakhir pendudukan
Perancis tahun 1813, maka berdasarkan Undang-Undang Dasar (Grond Wet) negeri
Belanda tahun 1814 (pasal 100) dibentuk suatu panitia yang bertugas membuat
rencana kodifikasi hukum perdata. Panitia ini diketuai Mr. J.M.
Kemper.
Tahun 1816 oleh Kemper disampaikan
kepda Raja suatu rancangan kodifikasi hukum perdata tapi rancangan ini tidak
diterima oleh para ahli hukum bangsa Belgia (pada waktu itu negeri Belanda dan
negeri Belgia merupakan suatu negera) karena rencana tersebut disusn Kemper
berdasarkan hukum Belanda kuno. Sedangkan para ahli hukum bangsa Belgia
menghendaki agar rancangan itu disusun menurut Code Civil Perancis. Setelah
mendapat sedikit perobahan, maka rancangan itu disampaikan kepada Perwakilan
Rakyat Belanda (Tweede Kamer) pada tanggal 22 Nopember
1820. Rencana ini
terkenal dengan nama
"ontwerp Kemper" (Rencana Kemper). Dalam
perdebatan di Perwakilan Rakyat Belanda, rencana Kemper ini mendapat tantangan
yang hebat dari anggota-anggota bangsa Belgia (wakil-wakil Nederland Selatan)
yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Tinggi di Kota Luik (Belgia) yang bernama
Nicolai.
Dalam tahun 1822 rencana Kemper itu
ditolak oleh Perwakilan Rakyat Belanda. Setelah Kemper meninggal dunia tahun
1824, pembuatan kodifikasi dipimpin oleh Nicolai dengan suatu metode kerja yang
baru yaitu dengan menyusun daftar pertanyaan tentang hukum yang berlaku yang
akan dinilai parlemen. Setelah diketahui kehendak mayoritas, panitia lalu
menyusun rencana-rencana dan mengajukannya ke parlemen (Perwakilan Rakyat)
untuk diputuskan. Demikianlah cara kerja yang dilakukaan semenjak tahun 1822
sampai 1826 bagian demi bagian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda
diselesaikan dan setiap bagian dimuat tersendiri dalam Staatsblad, tetapi
tanggal mulai berlakunya tentu saja ditangguhkan sampai seluruhnya
selesai. Dalam tahun 1829 pekerjaan itu selesai dan diakhiri dengan
baik.Undang-undang yang tadinya terpisah dihimpun dalam satu kitab
undang-undang dan diberi nomor urut lalu diterbutkan. Berlakunya
ditetapkan tanggal 1 Februari 1931. Pada waktu yang sama dinyatakan pula
berlaku Wetboek van Koophandel (WvK), Burgelijke Rechtsvordering ( BRv).
Sedangkan Wetboek van Strafrecht (WvS) menyusul kemudian.
Berdasarkan azas konkordansi maka
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda diberlakukan juga
buat orang-orang golongan Eropah di Hindia Belanda. Untuk itu, dengan firman
Raja Belanda tanggal 15 Agustus 1839 No. 102 dibentuk suatu komisi dengan tugas
membuat rencana peraturan-peraturan untuk memberlakukan peraturan itu sekiranya
dipandang perlu. Komisi itu terdiri dari Mr.C.J Scholten, Mr. I Scheiner dan
Mr. I.F.H van Nos. Setelah 6 tahun bekerja komisi tersebut dibubarkan (dengan
Firman Raja tanggal 15 Desember 1845 No. 68) berhubung dengan permintaan
berhentinya Mr. Scholten van Out Haaslem oleh karena selalu terganggu
kesehatannya. Kemudian dengan Firman Raja tanggal 15 Desember 1845 timbangan
Negara Jhr. Mr. H.I Wichers diutus ke Hindia Belanda untuk memangku jabatan
Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara sebelum berangkat dia
diwajibkan bersama-sama Mr. Scholten van Out Haarlem untuk menyiapakan rencana
peralatan hukum buat Hindia Belanda yang masih belum selesai dikerjakan.
Rencana peraturan yang telah dihasilkan adalah :
1. Algemene Bepalingen van
Wetgeving voor Nederlandsch Indie (Ketentuan umum perundang-undangan di
Indonesia);
2. Burgelijk
Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata);
3. Wetboek
van Koophandel ( K.U.H. Dagang ).
4. Reglement
op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO = Peraturan
susunan pengadilan dan pengurusan justisi);
5. Enige
Bepalingen betreffende Misdrijven begaan tergelegenheid van Faillissement en
bij Kennelijk Overmogen, mitsgader bij Surseance van Betaling (Beberapa
ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan pailit dan dalam
keadaan nyata tidak mampu membayar)
Sebagai hasil kerja Mr. Wicher dan Mr.
Scholten van Out Haarlem maka dikeluarkan Firman Raja tanggal 16 Mei 1846
No. 1, dan beberapa hari kemudian berangkatlah Mr. Wicher ke
Hindia Belanda membawa kitab-kitab hukum yang telah selesai
dikerjakannya serta telah ditandatangani
oleh Raja untuk diberlakukan di Hindia Belanda. Firman Raja Belanda tanggal 16
Mei 1846 No. 1 itu semuanya terdiri dari 9 pasal dan isinya diumumkan
seluruhnya di Hindia Belanda dengan Stb. 1847 no. 23. Dalam pasal 1 nya antara
lain dinyatakan bahwa peraturan-peraturan hukum yang dibuat untuk Hindia
Belanda adalah : (1) Ketentuan umum perundang-undangan di Indonesia, (2) Kitab
undang-undang hukum perdata, (3) Kitab undang-undang hukum dagang. (4)
Peraturan susunan pengadilan dan pengurusan justisi, dan (5) Beberapa ketentuan
mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan pailit dan dalam keadaan nyata
tidak mampu membayar. Kemudian dalam pasal 2 Firman Raja itu
ditentukan, bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda akan mengatur tindakan-tindakan
yang diperlukan untuk mengumumkan peraturan-peraturan tersebut di atas di dalam
bentuk yang lazim digunakan di Hindia Belanda, sebelum atau pada tanggal 18 Mei
1847 serta untuk memberlakukannya sebelum atau pada tanggal 1 Januari 1848.
Dalam sejarah tercatat, perjalanan
kapal yang membawa kitab-kitab hukum itu ternyata terlambat tiba di Indonesia,
sehingga menimbulkan terhambatnya segala persiapan untuk memberlakukan
perundang-undangan yang baru itu. Maka oleh karena itu dengan Firman Raja
tanggal 10 Pebruari 1847 Nomor 60 diberikan kuasa kepada Gubernur Hindia
Belanda untuk mengundurkan penetapan saat berlakunya peraturan-peraturan hukum
tersebut. Persiapan memberlakukan peraturan-peraturan hukum tersebut dikerjakan
oleh Mr. Wichers yang di Hindia Belanda menjabat sebagai anggota Raad van State
Belanda yang diperbantukan pada Gubernur Jenderal. Tugas Gubernur
Jenderal adalah memberlakukan peraturan-peraturan hukum tersebut (pasal 2
Firman Raja tanggal 16 Mei 1846 no. 1). Dalam hubungan ini Mr. Wichers telah
membuat beberapa rancangan peraturan antara lain "Reglement op de
Uitoefening van de Politie, de Burgerlijke Rechtspleging en de Strafvordering
onder de Indonesiers (golongan hukum Indonesia asli) en de Vreemde Oosterlingen
(golongan hukum Timur Asing) op Java en Madoera" (Stb. 1848 No. 16 jo 57)
yang sekrang sebagai Reglemen Indonesia Baru (RIB).
Akhirnya dengan suatu peraturan
penjalan (invoeringsverordening) yang bernama "Bepalingen omtrent de
Invoering van en de Overgang tot de Niewe Wetgeving (Stb. 1848 No. 10) yang
disingkat dengan "Overgangsbepalingen" (peraturan peralihan) yang
juga disusun oleh Mr. Wichers, maka kodifikasi hukum perdata (Burgerlijk
Wetboek) menjadi berlaku di Hindia Belanda tanggal 1 Mei Tahun 1848. Pasal 1
Overgangbapalingen itu menyatakan bahwa, "pada waktu kodifikasi hukum
tersebut mulai berlaku, maka hukum Belanda Kuno, hukum Romawi dan semua statuta
aturan yang baru itu".Dalam pada itu menurut pasal 2 nya, hal tersebut
tidak mengenai hukum pidana.
Berdasarkan fakta-fakta sejarah tentang
terbentuknya Code Civil Perancis, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda dan
Burgelijk Wetboek yang diungkapkan di atas ini, maka jelaslah bahwa Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) yang sekarang masih berlaku di
Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang telah menyerap atau
mengambil alih secara tidak langsung asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
berasal dari hukum Romawi, hukum Perancis kuno, Belanda kuno dan sudah tentu
pula hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dimana dan dimasa
kodifikasi tersebut diciptakan yakni pada waktu ratusan tahun yang silam.
Ad.2..b. Kedudukan BW/KUHPerdata sebagai
undang-undang setelah Indonesia merdeka
Era
globalisasi yang melanda dunia pada dekade terakhir, berpengaruh terhadap
Indonesia yang tidak henti-hentinya dilanda berbagai krisis, baik ekonomi,
politik, HAM, keamanan negara dan sebagainya, tanpa kompromi, Indonesia sebagai
Negara besar harus tetap eksis memperhatikan perkembangan pergaulannya dengan
bangsa lain dimuka bumi ini, karena Indonesia sendiri adalah salah satu
komponen penghuninya yang harus tetap berhubungan dengan negara dan bangsa
lain. Dalam pada itu, sebagai akibat adanya kemungkinan timbulnya pengaruh
secara timbal balik arus era globalisasi dan informasi dimaksud, maka salah
satunya adalah mempersiapkan keberadaan hukum Perdata Nasional yang mempunyai
ciri khusus dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri, namun
mampu menjawab tantangan kedepan dalam menghadapi persaingan yang semakin
kompetitif dengan bangsa-bangsa lainnya, khusus dengan masuknya unsur-unsur
asing (foreign element) yang telah melintasi batas negara sendiri,
sehingga mau tidak mau dan sangat mendesak adalah keberadaan hukum
perdata nasional dimaksud.
Berkaitan dengan itu,
sebenarnya sejak jauh hari salah seorang pakar hukum yang sangat disegani
dan dihormati oleh kalangan ilmuan hukum, beliau adalah Prof. Dr. Mr. R.
Soepomo, pernah mengemukakan dan mengingatkan dalam pidato Dies Natalis
Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus 1947;
“bahwa hukum dalam
masyarakat itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu sendiri, maka Hukum
Perdata Nasional nantinya harus pula dapat menyesuaikan dirinya dengan
cita-cita Nasional menurut aspirasi Bangsa Indonesia”. Karena itu dalam
menanggapi perkembangan hukum perdata dewasa ini perlu diarahkan kepada arus
pembawaan jiwa dan kebudaayan Nasional menuju kepada penemuan Hukum Perdata
Nasional yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tindak-tindak perdata, baik
yang bersifat dan beraliran barat maupun yang bersendi kepada norma-norma
kebuyaan timur” (A.Ichsan, 1969 : 5)
Beranjak dari pendapat ahli hukum tersebut, hal ini dapat diartikan bahwa
“adanya harapan agar para penerus bangsa ini untuk lebih memperhatikan
kehidupan bangsanya disamping tetap memperhatikan pergaulan dengan bangsa
lainnya. Dikatakan demikian, karena berbagai produk peraturan-peraturan
peninggalan penjajahan Belanda, baik itu Burgerlijk WetBoek (BW) selanjutnya
disebut KUHPerdata, WetBoek Van Koophandel (WvK) selanjutnya
disebut dengan KUHDagang, dapat dikatakan
telah tidak sesuai lagi
dengan
perkembangan keadaan, walaupun sebenarnya telah ada berbagai produk peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara, seperti Undang-undang Pokok
Agraria No. 5 Tahun 1960, Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995, Undang-udang Hak Tanggungan
Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas Tanah No. 4 Tahun 1996, Undang-undang
Jaminan Fiducia No. 42 Tahun 1999, Undang-undang Yayasan No. 16 Tahun 2001,
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan lain-lain.
Adanya ketentuan-ketentuan di atas dan
peraturan lainnya sangat berpengaruh terhadap keutuhan ketentuan peninggalan penjajahan
dan oleh karenanya keadaan itu janganlah membuat bangsa ini tertidur dan dinina
bobokkan dengan adanya Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang dibuat tanpa
batas yang jelas dan tegas tentang saat kapan berakhirnya. Mencerermati keadaan
tersebut wajarlah bahwa Sahardjo, S.H., waktu menjadi Menteri Kehakiman RI pada
Tahun 1962 memunculkan suatu gagasan yang diajukan dalam rapat Badan Perancang
Hukum Nasional (BPHN) menyarankan bahwa: “khusus KUHPerdata tidak lagi
sebagai undang-undang, melainkan sebagai dokumen saja yang hanya menggambarkan
suatu kelompok hukum yang tidak tertulis” (Z.A. Ahmad, 1986 : 47).Selanjutnya
gagasan Sahardjo, S.H. tersebut dikemukakan lagi dalam Kongres Majelis Ilmu
Pengetahuan Indonesia (MIPI) di Yogyakarta Tahun 1962 melalui prasaran Mr.
Wirjono Prodjodikoro dengan judul; “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata
Barat”, di mana isi prasaran tersebut mengemukakan hal-hal sebagai berikuit
:
5. Peraturan dari zaman Belanda yang
sekarang masih berlaku dan belum dicabut, sudah tidak sesuai lagi dengan
kepentingan masyarakat Indonesia saat ini;
6. Mempertanyakan; “apakah BW harus
menunggu dicabut dulu, untuk memberhentikan berlakunya sebagai Undang-undang di
Indonesia”;
7. Gagasan Sahardjo, S.H., untuk
menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang tetapi hanya sebagai dokumen
yang berisi hukum tidak tertulis saja, adalah sangat menarik. Artinya dengan
menganggapnya sebagai dokumen, para hakim akan lebih leluasa untuk
mengenyampingkan pasal-pasal BW yang tidak sesuai lagi dengan kepentingan Nasional;
8. Karena BW hanya tinggal sebagai pedoman
saja, maka demi kepentingan hukum dia perlu secara tegas dicabut.
Pencabutannya tidak perlu dengan suatu Undang-undang, tetapi cukup dengan suatu
pernyataan saja dari Pemerintah atau Mahkamah Agung (Z.A. Ahmad, 1986 : 47).
Kelanjutan
gagasan Sahardjo, S.H., dibawa pada Kongres MIPI mendapat tanggapan
positif dari Mr. Wirjono Prodjodikoro yang waktu itu sebagai Ketua Mahkamah
Agung RI yang mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 yang berisi gagasan;
“untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang, konsekuensi
gagasan ini adalah dengan mencabut berlakunya sebanyak delapan
pasal dari BW tersebut”. Dasar pertimbangan keluarnya SEMA berawal dari
prasaran dalam Kongres MIPI Tahun 1962, hadirin yang umumnya menyetujuinya dan
demikian juga halnya yang tidak ikut kongres juga menerimanya. Tetapi kemudian
dalam kenyataannya harus diakui banyak juga dari mereka yang tidak hadir yang
menentang gagasan Sahardjo, S.H. dan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No.
3 Tahun 1963 tersebut, diantaranya adalah; Prof. Mr. Mahadi dan demikian juga
Prof. Subekti, S.H., sebagai pengganti Prof. Mr. Wirjono Prodjodikoro
sebagai ketua Mahkamah Agung pada waktu itu. Ketidak setujuan Prof. Subekti
dikemukakannya di depan Seminar Hukum Nsional II di Semarang pada Tahun 1968
dan pada saat ceramah dihadapan dosen hukum dagang saat mengikuti “Post
Graduate Course” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta Tahun
1975. Menurut Subekti, bahwa :
“baik
gagasan seorang Menteri Kehakiman maupun Surat Edaran mahkamah Agung, bukanlah
merupakan sesuatu sumber hukum formal, paling-paling dia hanya dapat dianggap
sebagai suatu anjuran pada para hakim untuk jangan takut-takut menyingkirkan
pasal-pasal dari BW yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan membikin
yurisprudensi, sebab hanya yurisprudensilah yang dapat menyingkirkan
pasal-pasal dari BW itu, seperti; Pasal 108 BW, Arrest 31 Januari 1919 yang
memperluas pengertian Pasal 1365 BW, Arrest Bierbrouwerij Oktober 1925 yang
menyingkirkan Pasal 1152 BW yang mengharuskan penyerahan barang yang
digadaikan, tetap dalam kekuasaan orang yang menggadaikan”. (Z.A. Ahmad, 1986 :
51).
Melihat
uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan KUHPerdata sebagai ketentuan
undang-undang hingga saat ini masih terus diperdebatkan, artinya usulan-usulan
yang menganggap dia hanya sebagai dokumen hukum saja tetap menjadi perdebatan
diantara kalangan ahli hukum, tetapi setidak-tidaknya ide itu perlu terus
dipikirkan dan dipertimbangkan, terutama baik kalangan ahli hukum, peraktisi
hukum dan para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan,
untuk terus menggali dan mencermati berlakunya
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, dan tidak terpaku dengan Aturan
Peralihan Pasal II UUD 1945 yang tidak membuat batasan yang jelas dan tegas
tentang limit waktu berakhirnya ketentuan peninggalan penjajahan tersebut.
Ditambah lagi ketentuan-ketentuan peninggalan penjajahan sudah berusia cukup
lama, di mana di negeri Belanda sendiri sebenarnya sudah sejak lama tidak
diberlakukan lagi. Maka sudah sewajarnyalah bangsa ini memikirkan tentang bagaimana
ketentuan-ketentuan yang berkaitan peraturan-peraturan peninggalan
penjajahan tersebut diganti dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi dengan jalan
terus berupaya membuat dan memberlakukan ketentuan baru yang sesuai dengan
keadaan bangsa dan kemajuan zaman, karena ketentuan-ketentuan yang bersifat
keperdataan dalam perkembangannya dan penerapannya dapat saja dipengaruhi oleh
berbagai aspek hukum lainnya, seperti; aspek hukum pidana, administrasi maupun
ketentuan hukum Internasional sebagai akibat pengaruh global dan hubungan antar
warga yang berlainan kewarganegaraannya.
Dalam pada itu, tentang bagaimana
kedudukan Hukum Perdata BW khususnya KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)
sebagaimana dimaksudkan di atas, Saleh Adiwinata, mengemukakan "Persoalan
ini pertama kali dilontarkan oleh Menteri Kehakiman RI tahun 1962 pada
salah satu Rapat Kerja Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bulan
Mei tahun 1962" (S. Adiwinata, 1983; 26). Menurut Saleh, dalam hal mana;
"Menteri Kehakiman, pada waktu itu Sahardjo, SH, melontarkan suatu
problema hukum : "Apakah BW sebagai kodifikasi tidak telah habis masa
berlakunya pada saat kita memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945 ?". Sahardjo berpendapat bahwa BW tidak lagi sebagai suatu undang-undang
melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum
yang tidak tertulis. Dengan kata lain BW bukan lagi sebagai Wetboek
tetapi Rechtsboek yang hanya dipakai suatu pedoman" (S. Adiwinata, 1983;
26).
Menanggapi persoalan yang dikemukakan
Menteri Kehakiman Sahardjo tersebut dalam pada itu Mahadi berpendapat
sebagai berikut:
1. BW
sebagai kodifikasi sudah tidak berlaku lagi.
2. Yang
masih berlaku ialah aturan-aturannya, yang tidak bertentangan dengan semangat
serta suasana kemerdekaan.
3. Diserahkan
kepada yurisprudensi dan doktrina untuk menetapkan aturan mana yang masih
berlaku dan aturan mana yang tidak bisa dipakai lagi.
4. Tidak
setuju diambil suatu tindakan legislatif untuk menyatakan bahwa aturan-aturan
BW dicabut sebagai aturan-aturan tertulis. Tegasnya, tidak setuju, untuk
menjadikan aturan-aturan BW yang masih bisa berlaku menjadi hukum kebiasaan
(hukum adat), sebab :
a. Kelompok-kelompok
hukum, yang sekarang di atur dalam BW, akan menjelma nanti di dalam hukum
nasional kita juga dalam bentuk tertulis. Setapak kearah itu telah kita lakukan
yaitu sebahagian dari Buku II telah diatur secara lain di dalam Undang-undang
Pokok Agraria. Hukum Perjanjian (Buku III) sedang dalam perencanaan Hukum
Acara Perdata, yang melingkupi sebahagian dari Buku IV sedang
dirancangkan. Dan sebagainya. Jadi, tidak logis kalau yang tertulis
sekarang itu dijadikan tidak tertulis, untuk kemudian dijadikan tertulis
kembali (meskipun dengan perubahan-perubahan).
b. Dengan berlakunya
aturan-aturan BW sebagai hukum adat, tidak hilang segi diskriminatifnya.
Mungkin hilang segi intergentilnya, tapi masih tetap ada segi
"interlokalnya".
c. Dengan memperlakukan
BW sebagai hukum adat, tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan
peraturan-peraturan tentang Burgerlijke Stand
sebagai aturan-aturan tertulis.
Peraturan-peraturan tentang Burgerlike Stand sebagai aturan-aturan tertulis.
Peraturan-peraturan tentang Burgerlike Stand nyata-nyata bersifat diskriminatif,
sebab pada umumnya tidak ada Burgerlijke Stand untuk sebagain besar dari warga
negara Indonesia.
d. Kedudukan BW rasanya
harus kita tilik bergandengan dengan kedudukan KUH Dagang. Dapatkah kita
membuat pernyataan bahwa aturan-aturannya berlaku sebagai hukum adat ?, Apakah
tidak ada segi-segi internasionalnya, bandingkan dengan wesel.
e. Menjadikan
aturan-aturan BW sebagai hukum adat mempunyai akibat psikologis terhadap alam
pemikiran hakim madya, yaitu para hakim muda lepasan SMKA dan para hakim
bekas-bekas pegawai administratif yang tidak sedikit jumlahnya itu.
Sekarang mereka mempunyai perpegangan, pernama norma hukum tertulis dan kedua
yurisprudensi. Jika aturan-aturan BW dijadikan hukum adat,
maka hanya tinggal satu
pegangan ini, kata Mahadi, tidak membawa akibat baik kepada mutu
keputusan-keputusan hakim yang bersangkutan.(S. Adiwinata, 1983; 34-35).
Mahadi akhirnya mengusulkan agar
persoalan ini diserahkan kepada Mahkamah Agung melalui yurisprudensinya
serta melalui jalan lain di dalam rangka peradilan terpimpin, dibantu oleh para
pengarang di dalam majalah hukum, untuk menjelaskan aturan-aturan mana dari BW
itu yang dapat dipandang sebagai tidak berlaku lagi. Kemudian gagasan Sahardjo
yang menganggap BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi Rechtsboek ini dibawa ke
dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI-sekarang LIPI) II yang
diadakan di Yogyakarta pada bulan Oktober 1962, yang
dikemukakan Wirjono Prodjodikoro, dalam prasarannya yang berjudul
"Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat", di mana dalam
prasarannya itu dikemukakan pemikiran :
1. Mengingat
kenyataan bahwa BW oleh penjajah Belanda dengan sengaja disusun sebagai tiruan
belaka dari BW di negeri Belanda dan untuk pertama-tama diperlakukan buat
orang-orang Belanda di Indonesia, yang sudah merdeka lepas
dari belenggu penjajahan Belanda itu, masih pada tempatnyakah
untuk memandang BW tersebut sejajar dengan suatu Undang-undang yang secara
resmi berlaku di Indonesia ?. Dengan kata lain apakah BW yang bersifat kolonial
masih pantas secara resmi dicabut dulu untuk menghentikan berlakunya di
Indonesia sebagai undang-undang?;
2. Gagasan
Menteri Kehakiman Sahardjo, dalam sidang Badan Perancang Lembaga Pembinaan
Hukum Nasional pada bulan Mei 1962 yang menganggap BW tidak lagi sebagai suatu
undang-undang, melainkan hanya sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan
suatu kelompok hukum tidak tertulis, sangat menarik hati, oleh karena dengan
demikian para penguasa terutama para hakim lebih leluasa untuk mengesampingkan
beberapa Pasal dari BW yang tidak sesuai dengan Indonesia;
3. Namun
oleh karena dalam gagasan tersebut, BW masih tetap sebagai pedoman yang harus
diperhatikan seperlunya oleh para pengusa, maka untuk kepastian hukum masih
sangat perlu diusahakan sekuat tenaga, agar dalam waktu yang tidak terlalu
lama, BW sebagai pedomanpun harus dihilangkan sama sekali dari Bumi Indonesia
secara tegas, yaitu dengan suatu pencabutan, tidak dengan undang-undang,
melainkan dengan suatu pernyataan Pemerintah atau dari Mahkamah
Agung.(Wirjono.P, 1979 : 7-11)
Gagasan tentang kedudukan hukum BW yang
dikemukakan Wirjono dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut,
mendapatkan sambutan dan persetujuan, di mana Mahkamah Agung
menyetujuinya dan sebagai konsekuensinya, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan
Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963 yang disebarluaskan
kepada semua PN dan PT di seluruh Indonesia. Surat Edaran Mahkamah Agung No.3
Tahun 1963 tentang "gagasan menganggap Burgerlijk Wetboek tidak sebagai
undang-undang". Sebagai konsekwensi dari gagasan tersebut, kemudian
Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi antara lain pasal-pasal berikut
dari Burgerlijk Wetboek :
Pasal-pasal 108 dan 110 BW tentang
wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum untuk menghadap di muka
pengadilan tanpa izin dan bantuan suami.
1. Pasal
284 ayat (3) BW mengenai pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan oleh
seorang perempuan Indonesia asli. Dengan demikian, pengakuan anak itu
tidak lagi berakibat terputusnya perhubungan hukum antara Ibu dan Anak,
sehingga juga tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua warga
negara Indonesia.
2. Pasal
1682 BW yang mengharuskan dilakukannya suatu perhibahan dengan akta Notaris.
3. Pasal
1579 BW yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang si pemilik
barang tidak dapat menghentikan persewaan dengan mengatakan, bahwa ia akan
memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada waktu membentuk persetujuan
sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan.
4. Pasal
1283 BW yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat
diminta di muka hakim, apabila gugatan ini didahului dengan penagihan
tertulis.
Mahkamah Agung sudah pernah memutuskan antara dua orang
Tionghoa bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap
sebagai penagihan,
oleh karena sitergugat masih dapat menghindarkan terkabulnya gugatan dengan
membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
5. Pasal
1460 BW tentang resiko seorang pembeli barang, pasal mana menentukan, bahwa
suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual, sejak saat itu adalah
tanggung jawab pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukakan.
Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari tiap-tiap
keadaan, apakah tidak sepantasnya pertanggungan jawab atau resiko atas
musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus
dibagi antara kedua belah pihak, dan kalau ya, sampai kapan
saatnya.
6. Pasal
1603 x ayat (1) dan ayat (2) BW yang mengadakan diskriminasi antara orang
Eropah disatu pihak dan bukan orang Eropah di lain pihak mengenai perjanjian
perburuhan.
Ad.2. c. Hukum Perdata dan Pemberlakuannya di Indonesia
|
Hukum perdata di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam (pluralistis), dimana masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum perdata sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi.Keanekaragaman hukum perdata di Indonesia ini sebenarnya sudah berlangsung lama, bahkan sejak kedatangan orang Belanda di Indonesia pada tahun 1596. Keaneka ragaman hukum ini berawal pada ketentuan dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang membagi penduduk Hindia Belanda berdasarkan atas tiga golongan yaitu :
1. Golongan
Eropah, ialah (a) semua orang Belanda, (b) semua orang Eropah lainnya,
(c) semua orang Jepang, (d) semua orang yang berasal dari tempat lain yang
dinegaranya tunduk kepada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan atas
yang sama seperti hukum Belanda, dan (e) anak sah atau diakui menurut
undang-undang, dan anak yang dimaksud sub b dan c yang lahir di Hindia Belanda;
2. Golongan
Bumiputera, ialah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia Asli, yang tidak
beralih masuk golongan lain dan mereka yang semua termasuk golongan lain yang
telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia;Golongan Timur Asing, ialah
semua orang yang bukan golongan Eropah dan golongan Bumiputera
3. Selanjutnya
dalam pasal 131 IS dinyatakan bahwa "bagi golongan Eropah berlaku hukum di
negeri Belanda (yaitu hukum Eropah atau hukum Barat) dan bagi golongan-golongan
lainnya (Bumiputera dan Timur Asing) berlaku hukum adat masing-masing". Kemudian
apabila kepentingan umum serta kepentingan sosial mereka menghendakinya, maka
hukum untuk golongan Eropah dapat
dinyatakan berlaku bagi mereka,
baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan, dan juga diperbolehkan
membuat suatu peraturan baru bersama.
Berdasar ketentuan Pasal 131 IS di
atas, maka kodifikasi hukum perdata hanya berlaku bagi golongan Eropah dan
mereka yang dipersamakan. Sementara itu bagi golongan Bumiputera dan
timur asing berlaku hukum adat mereka masing-masing kecuali sejak tahun 1855
hukum perdata Eropah diperlakukan terhadap golongan timur asing selain hukum
keluarga dan waris. Selanjutnya ada beberapa peraturan yang khusus dibuat untuk
Bumiputera seperti ; ordonansi perkawinan bangsa Indonesia yang beragama Kristen
(Stb. 1933 No. 74), ordonansi tentang maskapai Andil Indonesia, disingkat
dengan IMA (Stb. 1939 No. 569 jo 717 dan ordonansi tentang perkumpulan bangsa
Indonesia (Stb. 1939 No. 570 jo. No. 717).
Selanjutnya orang-orang bukan Eropah
dapat dengan suka rela menunjukan diri kepada hukum perdata Eropah hal ini
diatur dalam Stb. 1917 No. 17 yang diberi nama dengan "Regeling Nopens de
Vrijwillige Onderwerping aan het Europeesch Privatrecht" (Peraturan
mengenai penundukan diri dengan suka rela kepada hukum perdata Eropah.
Peraturan ini mengenal empat macam penundukan diri yaitu: penundukan diri
kepada seluruh hukum perdata Eropah (pasal 1 s/d 17), penundukan diri pada
perbuatan hukum tertentu (pasal 29). Mengenai pasal 29 tersebut
menentukan jika seorang bangsa Indonesia Asli melakukan suatu perbuatan hukum
yang tidak dikenal atau tidak diatur dalam hukumnya sendiri, maka ia dianggap
secara diam-diam menundukan dirinya pada hukum perdata Eropah misalnya
menandatangani aksep (surat kesanggupan untuk membayar sejumlah uang),
menandatangani wesel, menandatangani perjanjian asuransi dan sebagainya.
Diadakannya lembaga penundukkan diri
ini, sedikitnya banyaknya adalah untuk kepentingan orang-orang golongan Eropah
sendiri. Dikatakan demikian sebab seperti dinyatakan oleh Mr. C.J Scholten ;
"bahwa penundukkan sukarela akan memberi keamanan besar dan keuntungan
kepada orang Eropah, sebab kalau mereka membuat perjanjian atau perikatan
dengan orang-orang yang tidak tergolong ke dalam orang Eropah, dengan
memperlakukan hukum Eropah atas perjanjian yang dibuatnya itu. Dengan
demikian kepentingan orang Eropah dapat diamankan karena hukum Eropah merupakan
hukum tertulis yang akan lebih banyak memberikan kepastian hukum dari pada
hukum adat yang tidak tertulis. Lembaga penundukan diri secara sukarela tidak
mungkin terjadi sebaliknya, artinya lembaga ini hanya mungkin dilakukan oleh
orang Indonesia Asli dan Timur Asing terhadap hukum Perdata Eropah, dan tidak
mungkin terjadi penundukan diri secara suka rela dari orang eropah atau timur
asing terhadap hukum adat.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas
bahwa lembaga penundukan diri kepada hukum perdata Eropah bagi golongan Timur
Asing sudah hampir tidak relevan lagi dengan adanya peraturan yang termuat
dalam Stb. 1855 No. 79. Sebab dengan peraturan yang termuat dalam Stb.
1855 dan Wetbooek van Koophandel) dinyatakan berlaku terhadap orang golongan
timur asing, kecuali hukum keluarga dan hukum waris. Pada Tahun 1917 mulai di
adakan pembedaan antara golongan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan
Tionghoa, karena untuk golongan Timur Asing Tionghoa dianggap bahwa hukum
Eropah yang sudah berlaku bagi mereka dapat diperluas lagi. Peraturan
tersendiri mengenai hukum perdata ini bagi mereka, termuat dalam Stb. 1917 No.
129 (yang baru berlaku untuk seluruh Indonesia sejak tanggal 1 September
1925). Menurut peraturan ini seluruh hukum perdata Eropah berlaku bagi
mereka, kecuali pasal-pasal mengenai Burgerlijk Stand yang termuat dalam bagian
2 dan 3 titel 4 buku I BW, dimana bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa
diadakan Burgerlijk Stand tersendiri, serta peraturan tersendiri tentang
pengangkatan anak (adopsi) pada bagian II dari Stb. 1917 No. 129
tersebut.
Dalam pada itu, bagi orang-orang
golongan Timur Asing bukan Tionghoa (Arab, India, Pakistan dll),
berdasarkan peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79. Kemudian dirubah dan
ditambah dengan Stb. 1924 No. 556 tanggal 9 Desember 1924 dan mulai berlaku
tanggal 1 Maret 1925, hukum perdata Eropah berlaku bagi mereka, kecuali
mengenai hukum keluarga dan hukum waris, dimana untuk kedua bidang hukum ini
tetap berlaku hukum adat mereka sendiri. Tetapi mengenai pembuatan wasiat
(testament) hukum perdata Eropah berlaku juga bagi mereka.
Pada
pertemuan ketiga di bahas tentang :
a.
Dasar Hukum Berlakunya Hukum Perdata Eropah;
b. Bidang-bidang Hukum Perdata;
c. Bagian-Bagian BW yang Tidak Berlaku Lagi;
d. Hukum Perdata Bersifat Pelengkap dan Memaksa
Ad.3. a. Dasar Hukum Berlakunya Hukum Perdata Eropa
Apabila dilihat dalam Undang-Undang
Dasar 1945, Konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar sementara 1950
terdapatnya aturan peralihan, di mana salah satu maksud diadakannya
aturan peralihan tersebut adalah "untuk menjadi dasar berlakunya terus peraturan
perundang-undangan yang ada pada saat Undang-Undang Dasar tersebut
diberlakukan". Dengan demikian kefakuman hukum yang dapat menimbulkan
ketidakpastian dan kekacauan dalam masyarakat dalam dihindari. Aturan peralihan
sebagaimana dimaksudkan di atas, dalam UUD 1945 Pasal II nya menentukan :
"segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Dalam pada
itu Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 juga menetukan bahwa
"sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaan
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional
Pusat".
Berdasarkan Aturan Peralihan tersebut,
kemudian pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden mengadakan dan mengumumkan
Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1945, yang bunyinya sebagai berikut :
"KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, untuk ketertiban masyarakat, bersandar
pada Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal II
berhubung dengan pasal IV menetapkan peraturan sebagai berikut" :
Pasal
1
"Segala
Badan-badan Negara dan Peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar tersebut".
Pasal 2
"Peraturan ini
mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945". Dalam menjelaskan
Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1945 ini disebutkan bahwa, diadakan Peraturan
Pemerintah tersebut adalah untuk lebih menegaskan berlakunya pasal 2 Peraturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada waktu Indonesia dijajah oleh
Jepang, sampai sebelum tanggal 17 Agustus 1945, berlaku peraturan-peraturan
Pemerintah Balatentara Jepang. Dalam hal mana untuk daerah Jawa dan
Madura, Pemerintah Balatentara Jepang telah mengeluarkan
Undang-Undang No. 1 tahun 1942 tanggal 7 Maret 1942, dimana dalam pasal 3
dinyatakan : "Semua badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan
undang-undang dari Pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah buat sementara
waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Meliter".
Sementara itu untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura ada badan-badan dan keluasaan
lain Balatentara Jepang yang tindakan-tindakan dalam hal ini boleh dikatakan
sama. Oleh karena itu maka dapat dikatakan bahwa pada zaman Jepangpun tetap
melanjutkan berlakunya peraturan perundang-undangan dari zaman Hindia Belanda,
yang sebenarnya tidak hanya mengenai hukum perdata, akan tetapi juga
hukum-hukum bidang yang lain, seperti hukum pidana, hukum acara pidana, hukum
acara perdata, dan sebagainya.
Berkaitan dengan uraian di atas, dapat
dikatakan, bahwa dengan adanya ketentuan peralihan UUD 1945 dan Peraturan
Pemerintah No. 2 Tahun 1945 sebagaimana dikemukakan, maka segala peraturan
hukum peninggalan Pemerintah Hindia Belanda dahulu (seperti IS, BW, WvK, dan
sebagainya) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945.
Ad.3.b. Bidang-bidang Hukum Perdata
Mengenai bidang-bidang hukum perdata
sebagaimana dimaksudkan di atas, Riduan Syahrani mengemukakan, bahwa dalam ilmu
pengetahuan, hukum perdata dibagi dalam 4 bagian yakni :
1. Hukum perseorangan/badan
pribadi (personenrecht);
2. Hukum
Keluarga (familierecht);
3. Hukum
harta kekayaan (vermogenrecht);
4. Hukum
waris (erfrecht), (Wirjono.P, 1979 : 29).
Sementara itu bidang-bidang hukum perdata menurut
undang-undang adalah sebagaimana termuat dalam BW yang terdiri dari 4 buku,
antara lain:
Buku
I :
Tentang orang (van personen);
Buku
II : Tentang benda
(van zaken);
Buku
III : Tentang perikatan
(van verbintenissen);
Buku
IV : Tentang pembuktian
dan daluwarsa (van bewij en verjaring).
Hukum keluarga di dalam BW dimasukan pada buku I tentang
orang.Hal ini disebabkan oleh karena hubungan-hubungan keluarga berpengaruh
besar terhadap kecakapan seseorang untuk memiliki hak-hak serta kecakapannya
untuk menggunakan hak-haknya itu. Hukum waris dimasukan dalam Buku II
tentang benda oleh karena perwarisan adalah merupakan salah satu cara untuk
memperoleh hak milik (eigendom). Sedangkan hak milik (eigendom) diatur dalam
Buku II. Selain itu juga dikatan bahwa pembentuk undang-undang menganggap
bahwa hak waris adalah merupakan hak kebendaan, yaitu hak kebendaan atas
"boedel" dari orang yang meninggal dunia. Sedangkan pembuktian
dan daluwarsa sebenarnya termasuk hukum acara perdata sehingga kurang tepat
dimasukan dalam BW yang pada asasnya mengatur hukum perdara materil.Tapi
rupanya ada pendapat bahwa hukum acara perdata itu dapat dibagi dalam dua
bagian yaitu bagian materil dan bagian formil. Soal-soal pembuktian dan
alat-alat bukti termasuk bagian materil sehingga dapat juga dimasukan dalam BW
sebagai hukum acara perdata.
Ad.3.c. Bagian-Bagian BW yang Tidak Berlaku Lagi
Pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku secara menyeluruh seperti mulai
diberlakukan pada tanggal 1 Mei 1848, dikatakan demikian, karena sesuai dengan
amanat yang terdapat dalam Aturan Peralihan dari UUD 1945, yakni sebelum
terbentuknya peraturan-peraturan yang beru maka peraturan sebelum kemerdekaan
masih dapat digunakan sebagai acuan. Akan tetapi setelah kemerdekaan,
Pemerintah kemudian membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan keadaan
sekarang dan nilai-nilai luhur bangsa, sehingga berakibat peraturan peninggalan
kolonial tersebut tidak berlaku lagi, demikian juga halnya dengan beberapa
ketentuan dari BW tersebut.
Ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksudkan di atas, antara laian Undang-undang Nasional dilapangan perdata
yang pertama sekali secara radikal menyatakan tidak berlakunya lagi beberapa
ketentuan dalam BW adalah UUPA Nomor 5 tahun 1960, yang lahir tanggal 24
September 1960. Berlakunya UUPA ini, maka bagian Buku II BW mengenai
benda, sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Berlakunya UUPA itu maka berlakunya pasal-pasal BW Buku II sesuai
dengan Surat Departemen Agraria tanggal 26 Pebruari 1964 nomor Unda 10/3/29
dapat diperinci atas 3 macam :
a. Ada
pasal-pasal yang masih berlaku penuh karena tidak mengani bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
b. Ada
pasal-pasal yang menjadi tak berlaku lagi, yaitu pasal-pasal yang melulu
mengatur tentang bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
c. Ada
pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa
ketentuan-ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air dan
kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dan masih tetap berlaku sepanjang benda-benda
lainnya. (Sri Soedewi, 1975 : 4).
Sementara itu Pasal-pasal mana dari
Buku II BW yang masih berlaku penuh, pasal-pasal mana yang tidak berlaku dan
pasal-pasal mana yang masih berlaku tetapi tidak penuh, Sri Soedewi Masjhoen
Sofwan, dalam bukunya hukum benda memperinci secara garis besar sebagai berikut
:
a. Pasal-pasal
yang masih berlaku penuh ialah :
1. Pasal-pasal tentang
benda bergerak yakni pasal 505, 509, 518 BW;
2. Pasal-pasal tentang
penyerahan benda bergerak pasal 612, 613 BW;
3. Pasal-pasal tentang
bewoning, ini hanya mengenai rumah pasal 826 - 827 BW;
4. Pasal-pasal tentang
hukum waris pasal 830 - 1130 BW. Walaupun ada beberapa pasal dalam Hukum Waris
yang juga mengenai tanah, tanah diwarisi menurut hukum yang berlaku bagi si
pewaris;
5. Pasal-pasal tentang
piutang yang diistimewakan (Previlegie) pasal 1130 - 1149 BW;
6. Pasal-pasal tentang
gadai karena gadai hanya melulu mengenai benda bergerak, pasal 1150 - pasal
1160 BW;
7. Pasal-pasal tentang
hipotik, karena hipotik meskipun mengenai tanah memang dikecualikan dari
pencabutan oleh UUPA, dikurangi pasal-pasal yang tak pernah berlaku berdasarkan
pasal 31 O.V (peraturan peralihan perundang-undangan) S. 1848 No.10 setelah
berlakunya UUPA ketentuan-ketentuan mengenai segi formil/acara dari hipotik
yaitu mengenai pembebanan / pemberian hipotik dan pendaftaran hipotik, mengenai
hal tersebut harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA, PP No.
10 tahun 1961, PMA 15 tahun 1961 beserta peraturan-peraturan pelaksana lainnya,
namun setelah keluarnya undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atas Tanah dan PP No 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, maka ketentuan Hipotik atas Tanah sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 57 UUPA No. 5 Tahun 1960, dinyatakan tidak berlaku
lagi.
b. Pasal-pasal
yang tidak berlaku lagi ialah :
1. Pasal-pasal tentang
benda tak bergerak yang melulu berhubungan dengan hak-hak mengenai tanah;
2. Pasal-pasal tentang
cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah;
3. Pasal-pasal mengenai
penyerahan benda-benda tak beregerak, tidak pernah berlaku;
4. Pasal-pasal tentang
kerja Rodipasal 673 BW;
5. Pasal tentang hak dan
kewajiban pemilik pekarangan bertentangan P 625 - 672 BW;
6. Pasal-pasal
tentang pengabdian pekarangan (erfpachtbaarheid) pasal 674 - 710 BW
7. Pasal-pasal tentang
Erfpacht pasal 711 - 719 BW;
8. Pasal-pasal tentang
hak Erfpacht 720 - 736 BW;
9. Pasal-pasal tentang
bunga tanah dan hasil sepersepuluh pasal 737 - 755 BW.
10. Pasal-pasal yang
mengatur tentang Hipotik atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas tanah.
Pasal-pasal yang masih berlaku tetapi
tidak penuh, dalam arti tidak berlaku sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, masih tetap berlaku sepanjang mengenai
benda-benda lain, ialah :
1. Pasal-pasal tentang
benda pada umumnya;
2. Pasal-pasal tentang
cara membedakan benda pasal 503 - pasal 505 BW;
3. Pasal tentang benda
tidak mengenai tanah, terletak di antara pasal-pasal 529-568 BW;
4. Pasal tentang hak
milik sepanjang tidak mengenai tanah, di antara pasal 570 BW;
5. Pasal-pasal tentang hak
memungut hasil (Vruchtgebruuk) sepanjang tidak mengenai tanah pasal 756 BW;
6. Pasal tentang hak
pakai tidak mengenai tanah, pasal 818 BW. (Sri Soedewi, 1975
: 4).
Berkaitan dengan hal tersebut di atas,
Boedi Harsono mengemukakan, "Kemudian semua pasal-pasal yang merupakan
pelaksanaan atau berkaitan dengan pasal-pasal yang tidak berlaku lagi itu,
meskipun tidak secara tegas dicabut dan letaknya diluar Buku II yaitu dalam
Buku III dan Buku IV seperti pasal 1588 s/d 1600 tentang sewa menyewa tanah,
dan pasal 195 dan 1963 tentang verjaring sebagai upaya untuk mndapatkan hak
eigendom atas tanah tidak berlaku lagi. Demikian juga pasal 621,622 dan 623 BW
yang mengatur tentang penegasan hak atas tanah yang menjadi wewenang Pengadilan
Negeri, tidak berlaku lagi, karena tempatnya didalam Buku II, yakni pasal-pasal
yang secara tegas dicabut oleh UUPA. Setelah berlakunya UUPA penegasan hak atas
tanah harus menurut cara sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah No.10 tahun 1961 tentang "Pendaftaran Tanah" yang telah
dicabut dengan berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 yang menentukan bahwa pemberian
penegasan hak atas tanah itu dilakukan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah
saat ini menjadi Badan Pertanahan Nasional” (B. Harsoeno, 1993 : 127 –131).
Undang-Undang Nasional di lapangan
perdata yang juga cukup besar mengakibatkan tidak berlakunya lagi beberapa
ketentuan dalam BW adalah Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang
lahir pada tanggal 2 Januari 1974 ( LNRI 1974 No.1 ).Dengan adanya Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 ini, maka pasal-pasal yang mengatur tentang perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dalam Buku I BW, sepanjang
telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan Nasional tersebut
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam Undang-Undang No.1 tahun
1974 tentang perkawinan ini telah diatur tentang dasar perkawinan,
syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan,
perjanjian perkawinan, hak-hak dan kewajiban suami isteri, harta benda dalam perkawinan,
putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara
orang tua dan anak, perwalian, pembuktian asal usul anak, perkawinan diluar
Indonesia dan perkawinan campuran. Maka pasal-pasal Buku I BW yang mengatur
mengenai hal-hal yang telah diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974
tersebut tidak berlaku lagi yaitu sekitar pasal-pasal 26 s/d 418a (titel IV s/d
XV). Bahkan pasal-pasal 419 s/d 432 (titel XVI) yang mengatur lembaga
pendewasaan (Handlichting) menjadi tidak berlaku lagi, karena menurut pasal 47
Undang-undang No.1 tahun 1974 seorang anak yang berumur 18 tahun sudah dianggap
dewasa, sehingga terhadap dirinya tidak perlu lagi dilakukan pendewasaan..
Sementara itu dengan lahirnya
Undang-Undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur tentang penggantian nama, yang
disusul Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember
1966 dan dilengkapi Keputusan Presedium Kabinet No. 127/UKep/12/1966 tanggal 27
Desember 1966 yang diatur lebih lanjut dalam Surat Mendagri No. Pol.32/12/21 tanggal
9 Juli 1969 kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia maka
pasal-pasal Buku I BW sepanjang mengenai hal yang sama yang telah diatur dalam
Undang-Undang tersebut tidak berlaku lagi.
Dalam pada itu bagian-bagian dan
pasal-pasal BW yang tidak berlaku lagi karena dikesampingkan dan mati karena
putussan-putusan hakim yang merupakan yurisprudensi-yurisprudensi, agaknya
tidak mungkin disebutkan satu-persatu di sini.Akan tetapi untuk menyebutkan
sebagai contoh pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan BW yang tidak berlaku lagi
karena mati oleh yurisprudensi adalah pasal-pasal yang disebut dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung N0.3/1963 yaitu pasal-pasal 108, 110, 284 ayat (3), 1682,
1579, 1238, 1460 dan 1603 x ayat (1) dan (2).Dengan adanya Surat Edaran
Mahkamah Agung No.3/1963 tersebut para hakim tidak merasa takut lagi untuk
mengesampingkan pasal-pasal BW tersebut karena sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan kemajuan masyarakat sekarang.
Ad.3.d. Hukum Perdata Bersifat Pelengkap dan Memaksa
Menurut kekuatan berlakunya atau
kekuatan mengikatnya, hukum perdata dapat dibedakan atas hukum yang bersifat
pelengkap (aanvullend recht) dan hukum yang bersifat memaksa (dwingend
recht).Hukum yang bersifat pelengkap adalah peraturan-peraturan hukum yang
boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan,
peraturan-peraturan hukum mana hanyalah berlaku sepanjang orang-orang yang
berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya. Misalnya dalam pasal 1477
BW ditentukan bahwa penyerahan harus terjadi di tempat dimana barang yang
dijual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah ditentukan
lain. Peraturan hukum ini bersifat pelengkap, sehingga orang-orang yang
mengadakan perjanjian jual beli sesuatu barang boleh menyimpanginya dengan
mengadakan perjanjian yang menentukan sendiri tempat dan waktu penyerahan
tersebut. Pasal 1477 BW barulah mengikat dan berlaku bagi mereka yang
mengadakan perjanjian jual-beli sesuatu barang, kalau mereka tidak menentukan
sendiri secara lain.
Hukum yang bersifat memaksa adalah peraturan- peraturan
hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang
berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan hukum mana orang-orang yang
bekepentingan harus tunduk dan mentaatinya. Dalam pasal 39 Undang-undang No.1
tahun 1974 ditentukan bahwa "perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan berdasarkan alasan yang sah yang telah ditentukan".
Peraturan hukum ini bersifat memaksa, sehingga suami isteri tidak boleh
mengadakan perceraian sendiri di luar sidang pengadilan tanpa alasan yang sah
yang telah ditentukan. Dengan demikian hukum perdata tidak selalu berisi
peraturan-peraturan hukum yang bersifat pelengkap, meskipun hukum perdata itu
merupakan bagian dari pada hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan, dan pada galibnya dibidang ini berperan kehendak individu yang
bersangkutan, melainkan ada peraturan-peraturan hukum yang bersifat memaksa,
yang membatasi kehendak individu-individu tersebut. Hukum perdata yang bersifat
memaksa merupakan hukum perdata yang mengandung ketentuan-ketentuan tentang
ketertiban umum dan kesusilaan.Pada bidang-bidang yang menyangkut ketertiban
umum dan kesusilaan inilah otonomi individu dibatasi.
thanks atas infonya gan :)
BalasHapus