Senin, 23 Juli 2012

materi kuliah hak atas kekayaan intelektual


A. Istilah HaKI (Pasal 66 KUHPerdata)

Hak adalah kewenangan yang diberikan oleh hukum
Kekayaan adalah penguasaan atas benda yang menjadi indikator kesejahteraan
Intelektual adalah hasil olah atak manusia yang berawal dari imajinasi, kreasi dan keterampilan manusia yang menghasilkan karya.

Pengertian
HaKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan yang kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspersikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual tsb bisa bidang teknologi, IP, maupun seni dan sastra (Melantik Marpaung,

B. Keberadaan HAKI di Indonesia
1.     Sejarah Perundang-Undangan HAKI di Indonesia sebelum Kemerdekaan
Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah mempunyai undang-undang tentang hak kekayaan intelektual yang sebenarnya merupakan pemerlakukan peraturan perundang-undangan pemerintahan Hindia Belanda yang berlaku di negeri Belanda, diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip konkordansh.
         Pada masa itu, bidang hak kakayaan intelektual mendapat pengakuan baru 3 (tiga) bidang hak kakayaan intelektual, yaitu bidang Hak Cipta, Merek Dagang dan Industri, serta Paten.
         Adapun peraturan perundang-undangan Belanda bidang Hak Kekayaan Intelektual adalah sebagai berikut.
a.      Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang Hak Cipta; S.1912-600).
b.      Reglemen Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912;S.1912-545 jo. S. 1913-214
c.       Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33, yis S.1911-33, S.1922-54.
Undang-Undang Hak Cipta pertama di Belanda diundangkan pada tahun 1803, yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1817 dan diperbarui lagi sesuai dengan konvensi Bern 1886 menjadiAuterurswet 1912, (Hindia Belanda saat itu) sebagai negara jajahan Belanda, terikat dalam konvensi Bern tersebut, sebagaimana diumumkan dalam S.1914-797. Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912 merupakan undang-undang merek tertua di Indonesia, yang ditetapkan oleh pemerintah Kerajaan Belanda berlaku sejak tanggal 1 Maret 1913 terhadap wilayah-wilayaj jajahannya Indonesia, Suriname, dan Curacao. Undang-Undang Paten 1910 tersebut mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1912.
2.     Lingkup berlaku Perundangan-undangan HKI Zaman Belanda berdasarkan 131 Indische Staatstregeling

Pasal 131 IS pada pokoknya mengatur sbb:
a.      Hukum perdata dan hukum dagang (termasuk hukum pidana maupun acara perdata dan pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu kodifikasi
b.      Untuk golongan bangsa Eropa, dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (asas konkordansi).
c.       Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan sebagainya), jika ternyata “kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinayatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan. Dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).
d.      Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri (onderwepern) pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).
e.      Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang bagi mereka, yaitu “hukum adat” (ayat 6).
Pasal 163 IS, golongan Hindia Belanda adalah sbb:
a.      Golongan Eropa, yaitu (a) semua orang goloangan Belanda, (b) semua orang Eropa lainnya, (c) semua orang Jepang, (d) semua orang yang berasal dari tempat lain yang dinegaranya tunduk pada hukum keluarga yang pada pokok berdasarkan asas yang sama seperti hukum benda, dan (e) anak sah atau diakui menurut undang-undang, dan anak yang dimaksud sub b dan c yang lahir di Hindia Belanda.
b.      Golongan Bumiputra, yaitu semua orang yang termasuk rakyat indonesia Asli, yang tidak beralih masuk golongan lain, yang telah membaurkan dirinya dengan golongan lain, dan telah membaurkan dirinya dengan Indonesia Asli.
c.       Golongan Timur Asing, yaitu semua orang yang bukan golongan Eropa dan golongan Bumiputra.
Berdasarkan Pasal 131 jo. 136 IS tersebut dapat diketahui bahwa kodifikasi hukum perdata (burgelijke wetboek) hanya berlaku bagi golongan Eropa dan mereka yang dipermasalahkan. Adapun bagi goloangan Bumiputra dan Timur Asing berlaku hukum ada mereka masing-masing, kecuali sejak tahun 1855 hukum perdata Eropa diberlakukan goloang Timur Asing, selain hukum keluarga dan hukum waris.
Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat itu bersiafat pluralistis sesuai dengan goloangan penduduknya, sehingga ada peraturan perundang-udangan Eropa dinyatakan berlaku bagi orang-orang Bumiputra (Indonesia), ada pula peraturan perundang-undangan yang dinyatakan secara khusus dibuat untuk orang-orang Indonesia Asli (Bumiputra). Peraturan perundang-undangan Eropa di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang diatur dalam Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S. 1912-545 jo. S.1913-214), Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang-Undang Hak Cipta, S. 1911-33, S.1922-54), merupakan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan berlaku tidak hanya untuk golongan Eropa, melainkan juga berlaku untuk goloangan bukan Eropa.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan Eropa di bidang Hak Kekayaan Intelektual merupakan peraturan perundang-undangan yang bagi semua goloangan penduduk Indonesia.

3.     HKI Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, berdasaran Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, maka ketentuan peraturan perundang-undangan Hak kekayaan Intelektual zaman penjajahan Belanda, demi hukum diteruskan keberlakuannya, sampai dengan dicabut dan diganti dengan undang-undang bari hasil produk legislasi Indonesia. Setelah 16 tahun Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1961 barulah Indonesia mempunyai perundang-undangan hak kekayaan intelektual dalam hukum positif pertama kalinya dengan diundangkannya Undang-Undang Merek pada tahun 1961, disusul dengan Undang-Undang Hak Cipta pada 1982, dan Undang-Undang Paten pada tahun 1989.
Undang-undang merek pertama Indonesia lahir pada tahun 1961 dengan diundangkannya Undang-Undang Merek Dagang dan Mereka Perniagaan, pada tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai berlaku tanggal 11 November 1961, yang dikenal dengan nomenklatur Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. Dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, maka Reglement Industriele Eigendom Kolonien1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S.1912-545 jo. S.1913-214) tersebut dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Pada tahun 1992 terjadi pembaruan hukum merek di Indonesia, dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 yang mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. Selanjutnya pada tahun 1997, terjadi lagi penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. Dan terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.
Undang-Undang Hak Cipta pertama Indonesia pasca kemerdekaan baru ada pada tahun 1982, dengan diundangkannya dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982. Kemudian pada tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan denga diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987. Selanjutnya pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tersebut. Dan terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 jis. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.
Undang-undang paten Indonesia pertama baru ada pada tahun 1989 dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989. Kemudian pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tersebut diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997. Dan terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tersebut, diubah dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001.
Dengan demikian, sejak tahun 1961 s.d. tahun 1999, yang berarti selama 54 tahun sejak Indonesia merdeka, bidak hak kekayaan intelektual yang telah mendapat perlindungan dan pengaturan dalam tata hukum Indonesia baru 3 (tiga) bidang, yaitu merek, hak cipta, dan paten. Adapun 4 (empat) bidang bidak hak kekayaan intelektual lainnya varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, serta desai tata letak sirkuit terpadi, baru mendapat pengaturan dalam hukum Indonesia pada tahun 2000, dengan diundangkkanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tengang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadi, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Industri.

4.     Kondisi HAKI di Indonesia
HAKI sangat penting untuk menggairahkan laju perekonomian dunia yang pada akhirnya membahawa kesejahteraan umat manusia. Meski terus ada upaya pengurangan angka tarif dan kuota secara gradual dalam rangka mempercepat terbentuknya perdagangan bebas, jika produk impor barang dan jasa dibiarkan bebas diduplikasi dan direproduksi secara ilegal, ini merupakan beban berat bagi pelaku perdagangan internasional.
Indonesia dikenal memiliki keragaman hayati yang tinggi, bahkan tergolong pali tinggi di dunia. Bukan itu saja, negeri kita juga mempunyai beragam budaya dan karya tradisional. Namun tanpa disadari, banyak aset dan kekayaan intelektual lokal itu telah terdaftar di luar negeri sebagai milik orang asing. Kurangnya kesadaran akan pentingnya aset karya intelektual ini telah mengakibatkan kerugian yang bagi Indonesia (Kompas dikutip Adrian Sutedi, 2009:6)
Pelanggaran HAKI merupakan pembajakan (piracy), pemalsuan dan konteks hak cipta dan merek dagang (counterfeiting), dan pelanggaran hak paten (infringement) jelas merugikan secara signifikan bagi pelaku ekonomi, terutama akan melukai si pemilik sah dari hak intelektual tersebut. Begitu pun konsumen dan mekanisme pasar yang sehat juga akan terganggu dengan adanya tindak pelanggaran HAKI.
Pelanggaran HAKI yang terjadi antara lain juga karena (saat itu) DPR belum menyelesaikan undang-undang tentang HAKI serta ketidakpahaman aparat hukum dan masyarakat tentang hal tersebut. Hak cipta yang sering dijiplak itu, antara lain karya film, musik, merek, program komputer, dan buku (Kompas dikutip Adrian Sutedi, 2009:6).
 B. Tinjauan Singkat Perjalanan HAKI di Dunia Internasional
Hak atas kekayaan Intelektual atau juga dikenal dengan HAKI merupakan terjemahan atas istilah Intellectual Property Right (IPR). istilah tersebut terdiri dari tiga kata kunci, yaktu Hak, Kekayaan dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. adapun Kekayaan Intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. terakhir Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atau kekayaan intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku (Adrian Sutedi, 38:2009)
Hak dibagi menjadi dua. Pertama Hak Dasar (Asasi) merupakan hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Umpamanya hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keadilan, dan sebagainya. Kedua, Hak Amanat Aturan/Perundangan, yaitu hak karena diberikan/diatur oleh masyarakat melalui peraturan/perundangan. Di berbagai negara, termasuk Amerika dan Indonesia, HAKI merupakan Hak Amanat Aturan, sehingga masyarakatlah yang menentukan, seberapa besar HAKI yang diberikan kepada individu dan kelompok.
terlihat bahwa HAKI merupakan hak pemberian dari umum (publik) yang dijamin oleh undang-undang. HAKI bukan merupakan hak asasi, sehingga kriteria pemberian HAKI merupakan hal yang dapat diperdebatkan oleh publik. tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan kebutuhan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. pada gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya. sesuai dengan hakikatnya pula, HAKI dikelompokkan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (intangible).
          Undang-undang mengenai HAKI pertama laki ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo, dan Gunttenberg tercatat sebagai penemu-penemu muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di zaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris, yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HAKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang, dan desain. Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah Hak Cipta (Copyright).
           Kekuatan Nasional suatu negara tergantung juga pada kemajuan dan kemauan menghasilkan hak atas kekayaan intelektual. hal ini telah dibuktikan oleh negara-negara maju sebelum Perang Dunai Kedua. Jerman dan Jepang sebelum Perang Dunia II telah mempersiapkan diri menjadi kuat dengan mengandalkan strategi utama, yaitu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
           Pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi diteruskan oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II terutama Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Eropa lainnya, Jepang juga terus mengembangkan teknologinya, meskipun negaranya telah mengalami kekalahan pada Perang Dunia II dan mengalami kehancuran oleh ledakan Bom di Hirosima dan Nagasaki. Berdasarkan pengalaman sejarah, mereka menyadari betul pentingnya hak atas kekayaan intelektual sebagai sumber kekuatan politik berbasis ekonomi (Abdul Kadir Muhammad dikutip Adrian Sutedi, 2009:39) Jepang, dalam kurun waktu relatif telah banyak menghasilkan berbagai penemuan baru sebagai basis pertumbuhan dan pengembangan industri dan perdagangan yang menguasai pasar global, sehingga Jepang dapat bangkit sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia.
            Untuk mewujudkan ubungan perdagangan internasional, negara-negara yang memenangkan perang telah berusaha untuk membentukInternasional Trade Organization (ITO). Akan tetapi, pembentukan ITO mengalami kegagalan karena Amerika Serikat tidak mendukungnya. Sebagai gantinya dibentuk The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) (H.S. Kartadjoemena dikutip Adrian Sutedi, 2009:40) perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 30 Oktober 1947 oleh 8 (delapan) negaram yaitu Australia, Belgia, Kanada, Prancis, Luxemburg, Belanda, Inggris (United Kingdom), dan Amerika Serikat. Kegalalan pelaksanaan GATT pada tahun 1948 lebih banyak disebabkan oleh penolakan Kongres Amerika Serikat, khususnya yang berhubungan dengan masalah proteksionisme.(Bussiness dikutip Adrian Sutedi, 2009:40)
           GATT adalah bagian dari organisasi Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertujuan untuk melindungi keseimbangan kepentingan antarnegara-negara anggota PBB dalam hubungan perdagangan internasional. Pada saat itu GATT berfungsi sebagai alat stabilitasi nasional mengenai tarif bea masuk dan sebagai forum konsultasi perdagangan internasional.
           Dalam Perkembangannya, negara-negara anggota GATT mengadakan perundingan Putran Uruguay di Jenewa dengan menerima kesepakatan naskah Final Act Uruguay Round pada tanggal 15 Desember 1993, sebagai hasil konkret perundingan Putaran Uruguay yang dimulai pada tahun 1986 dengan Deklarasi Punta Del Este. Final Act Uruguay Round secara resmi ditandatangani di Marakesh, Maroko oleh 125 negara, termasuk di dalamnya Indonesia. Perundingan tersebut menghasilkan perjanjian untuk membentukWorld Trade Organization, yang merupakan lembaga penerus GATT, perjanjian perdagangan barang, perjanjian perdagangan jasa-jasa, serta perjanjian Hak atas Kekayaan Intelektual.
          Dengan adanya subtansi perjanjian TRIPs dalam GATT maka Indonesia harus konsekuen terhadap hasil perjanjian perdagangan internasional GATT dengan melakukan berbagai kebijakan hukum di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual. Selain itu penerapan perlindungan terhadap pemilik Hak atas Kekayaan Intelektual harus benar-benar memberikan jaminan atas tindakan pembajakan, pencurian, pembocoran, pengungkapan, dan tindakan curang lainnya.
         Intelektual capital dapat bergerak dan bersirkulasi dengan tingkat kekerapan sangat tinggi dalam arus perputaran moral dunia, khususnya di negara-negara maju. Ketika kemajuan teknologi begitu pesat dan pasar terus bertransformasi dalam tataran global dalam bentuk transnational, diperlukan perangkat hukum untuk meningkatkan dan melindungi kepentingan investasi industri, budaya dan pasar. dari sanalah, pada pertengahan tahun 1980-an, negara-negara yang tergabung dalam GATT/WTO bersepakat tentang aturan main IPR atau HAKI. Lebih-lebih dalam tahun 2002, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya yang menjadi anggota AFTA, dituntut untuk mempersiapkan perangkat-perangkat aturannya, antara lain tentang masalah peraturan HAKI dan implementasinya.

UU tindak pidana pencucian uang


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2010
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya
mengancam stabilitas perekonomian dan integritas
sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang
kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas
penegakan hukum, serta penelusuran dan
pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak pidana;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan
penegakan hukum, praktik, dan standar internasional
sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: . . .
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang
selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga
independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan
memberantas tindak pidana Pencucian Uang.
3. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan
hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih.
4. Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan
atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan,
pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas
sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain
yang berhubungan dengan uang.
5. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil,
karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari
Pengguna Jasa yang bersangkutan;
b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut
diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan Transaksi yang
bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak
Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini;
c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal
dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan
yang diduga berasal dari hasil thndak pidana; atau
d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK
untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena
melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal
dari hasil tindak pidana.
6. Transaksi . . .
- 3 -
6. Transaksi Keuangan Tunai adalah Transaksi Keuangan
yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas
dan/atau uang logam.
7. Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah,
analisis, dan evaluasi Transaksi Keuangan
Mencurigakan yang dilakukan secara independen,
objektif, dan profesional untuk menilai dugaan adanya
tindak pidana.
8. Hasil Pemeriksaan adalah penilaian akhir dari seluruh
proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan
secara independen, objektif, dan profesional yang
disampaikan kepada penyidik.
9. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi.
10. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
11. Pihak Pelapor adalah Setiap Orang yang menurut
Undang-Undang ini wajib menyampaikan laporan
kepada PPATK.
12. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa
Pihak Pelapor.
13. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau
benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung
maupun tidak langsung.
14. Personil Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang
memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu
kebijakan Korporasi atau memiliki kewenangan untuk
melakukan kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus
mendapat otorisasi dari atasannya.
15. Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau
lebih yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana
Pencucian Uang.
16. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang
dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,
baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa
pun selain kertas maupun yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta . . .
- 4 -
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu membaca atau memahaminya.
17. Lembaga Pengawas dan Pengatur adalah lembaga yang
memiliki kewenangan pengawasan, pengaturan,
dan/atau pengenaan sanksi terhadap Pihak Pelapor.
18. Pengawasan Kepatuhan adalah serangkaian kegiatan
Lembaga Pengawas dan Pengatur serta PPATK untuk
memastikan kepatuhan Pihak Pelapor atas kewajiban
pelaporan menurut Undang-Undang ini dengan
mengeluarkan ketentuan atau pedoman pelaporan,
melakukan audit kepatuhan, memantau kewajiban
pelaporan, dan mengenakan sanksi.
Pasal 2
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang
diperoleh dari tindak pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. narkotika;
d. psikotropika;
e. penyelundupan tenaga kerja;
f. penyelundupan migran;
g. di bidang perbankan;
h. di bidang pasar modal;
i. di bidang perasuransian;
j. kepabeanan;
k. cukai;
l. perdagangan orang;
m. perdagangan senjata gelap;
n. terorisme;
o. penculikan;
p. pencurian;
q. penggelapan;
r. penipuan;
s. pemalsuan uang;
t. perjudian;
u. prostitusi;
v. di bidang . . .
- 5 -
v. di bidang perpajakan;
w. di bidang kehutanan;
x. di bidang lingkungan hidup;
y. di bidang kelautan dan perikanan; atau
z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana
penjar` 4 (empat) tahun atau lebih,
yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan
digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau
tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi
teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf n.
BAB II
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 3
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Pasal 4
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau
kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 5 . . .
- 6 -
Pasal 5
(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai
penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan
kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 6
(1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan
oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi
dan/atau Personil Pengendali Korporasi.
(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak
pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil
Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan
tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku
atau pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi Korporasi.
Pasal 7
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi
adalah pidana denda paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa:
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha
Korporasi;
c. pencabutan . . .
- 7 -
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara.
Pasal 8
Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4,
dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.
Pasal 9
(1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),
pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta
Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali
Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana
denda yang dijatuhkan.
(2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi
yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda
dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi
dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Pasal 10
Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta
melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan
Jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
BAB III . . .
- 8 -
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 11
(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum,
hakim, dan Setiap Orang yang memperoleh Dokumen
atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya
menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan
Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk
memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, penyidik,
penuntut umum, dan hakim jika dilakukan dalam
rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
(1) Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor
dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau
pihak lain, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun
atau telah disampaikan kepada PPATK.
(2) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi
kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur.
(3) Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas
dan Pengatur dilarang memberitahukan laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah
dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak
langsung dengan cara apa pun kepada Pengguna Jasa
atau pihak lain.
(4) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak berlaku dalam rangka pemenuhan
kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 13 . . .
- 9 -
Pasal 13
Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5), pidana
denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.
Pasal 14
Setiap Orang yang melakukan campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 15
Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 16
Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut
umum, atau hakim, yang menangani perkara tindak pidana
Pencucian Uang yang sedang diperiksa, melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan/atau
Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun.
BAB IV
PELAPORAN DAN PENGAWASAN KEPATUHAN
Bagian Kesatu
Pihak Pelapor
Pasal 17
(1) Pihak Pelapor meliputi:
a. penyedia jasa keuangan:
1. bank;
2. perusahaan pembiayaan;
3. perusahaan asuransi dan perusahaan pialang
asuransi;
4. dana . . .
- 10 -
4. dana pensiun lembaga keuangan;
5. perusahaan efek;
6. manajer investasi;
7. kustodian;
8. wali amanat;
9. perposan sebagai penyedia jasa giro;
10. pedagang valuta asing;
11. penyelenggara alat pembayaran menggunakan
kartu;
12. penyelenggara e-money dan/atau e-wallet;
13. koperasi yang melakukan kegiatan simpan
pinjam;
14. pegadaian;
15. perusahaan yang bergerak di bidang
perdagangan berjangka komoditi; atau
16. penyelenggara kegiatan usaha pengiriman
uang.
b. penyedia barang dan/atau jasa lain:
1. perusahaan properti/agen properti;
2. pedagang kendaraan bermotor;
3. pedagang permata dan perhiasan/logam mulia;
4. pedagang barang seni dan antik; atau
5. balai lelang.
(2) Ketentuan mengenai Pihak Pelapor selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa
Pasal 18
(1) Lembaga Pengawas dan Pengatur menetapkan
ketentuan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
(2) Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali
Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh setiap Lembaga
Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Kewajiban . . .
- 11 -
(3) Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna
Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
pada saat:
a. melakukan hubungan usaha dengan Pengguna
Jasa;
b. terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang
rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya
paling sedikit atau setara dengan
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang
terkait tindak pidana Pencucian Uang dan tindak
pidana pendanaan terorisme; atau
d. Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi
yang dilaporkan Pengguna Jasa.
(4) Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib melaksanakan
pengawasan atas kepatuhan Pihak Pelapor dalam
menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
(5) Prinsip mengenali Pengguna Jasa sekurang-kurangnya
memuat:
a. identifikasi Pengguna Jasa;
b. verifikasi Pengguna Jasa; dan
c. pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.
(6) Dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan
Pengatur, ketentuan mengenai prinsip mengenali
Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dengan
Peraturan Kepala PPATK.
Pasal 19
(1) Setiap Orang yang melakukan Transaksi dengan Pihak
Pelapor wajib memberikan identitas dan informasi yang
benar yang dibutuhkan oleh Pihak Pelapor dan
sekurang-kurangnya memuat identitas diri, sumber
dana, dan tujuan Transaksi dengan mengisi formulir
yang disediakan oleh Pihak Pelapor dan melampirkan
Dokumen pendukungnya.
(2) Dalam hal Transaksi dilakukan untuk kepentingan
pihak lain, Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memberikan informasi mengenai identitas
diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi pihak lain
tersebut.
Pasal 20 . . .
- 12 -
Pasal 20
(1) Pihak Pelapor wajib mengetahui bahwa Pengguna Jasa
yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor
bertindak untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama
orang lain.
(2) Dalam hal Transaksi dengan Pihak Pelapor dilakukan
untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain,
Pihak Pelapor wajib meminta informasi mengenai
identitas dan Dokumen pendukung dari Pengguna Jasa
dan orang lain tersebut.
(3) Dalam hal identitas dan/atau Dokumen pendukung
yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak lengkap, Pihak Pelapor wajib menolak Transaksi
dengan orang tersebut.
Pasal 21
(1) Identitas dan Dokumen pendukung yang diminta oleh
Pihak Pelapor harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh setiap
Lembaga Pengawas dan Pengatur.
(2) Pihak Pelapor wajib menyimpan catatan dan Dokumen
mengenai identitas pelaku Transaksi paling singkat 5
(lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan
Pengguna Jasa tersebut.
(3) Pihak Pelapor yang tidak melakukan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 22
(1) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib memutuskan hubungan
usaha dengan Pengguna Jasa jika:
a. Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip
mengenali Pengguna Jasa; atau
b. penyedia jasa keuangan meragukan kebenaran
informasi yang disampaikan oleh Pengguna Jasa.
(2) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib melaporkannya kepada PPATK mengenai
tindakan pemutusan hubungan usaha tersebut sebagai
Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Bagian . . .
- 13 -
Bagian Ketiga
Pelaporan
Paragraf 1
Penyedia Jasa Keuangan
Pasal 23
(1) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib menyampaikan laporan
kepada PPATK yang meliputi:
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;
b. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
atau dengan mata uang asing yang nilainya setara,
yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi
maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari
kerja; dan/atau
c. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar
negeri.
(2) Perubahan besarnya jumlah Transaksi Keuangan Tunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan
dengan Keputusan Kepala PPATK.
(3) Besarnya jumlah Transaksi Keuangan transfer dana dari
dan ke luar negeri yang wajib dilaporkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan
Kepala PPATK.
(4) Kewajiban pelaporan atas Transaksi Keuangan Tunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dikecualikan terhadap:
a. Transaksi yang dilakukan oleh penyedia jasa
keuangan dengan pemerintah dan bank sentral;
b. Transaksi untuk pembayaran gaji atau pensiun;
dan
c. Transaksi lain yang ditetapkan oleh Kepala PPATK
atau atas permintaan penyedia jasa keuangan yang
disetujui oleh PPATK.
(5) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b tidak berlaku untuk Transaksi yang
dikecualikan.
Pasal 24 . . .
- 14 -
Pasal 24
(1) Penyedia jasa keuangan wajib membuat dan menyimpan
daftar Transaksi yang dikecualikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4).
(2) Penyedia jasa keuangan yang tidak membuat dan
menyimpan daftar Transaksi yang dikecualikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
Pasal 25
(1) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf a dilakukan sesegera mungkin paling lama
3 (tiga) hari kerja setelah penyedia jasa keuangan
mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan
Mencurigakan.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Tunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b
dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
(3) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan transfer dana
dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf c dilakukan paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
Transaksi dilakukan.
(4) Penyedia jasa keuangan yang tidak menyampaikan
laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dikenai sanksi
administratif.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, dan tata
cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Kepala PPATK.
Pasal 26
(1) Penyedia jasa keuangan dapat melakukan penundaan
Transaksi paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
penundaan Transaksi dilakukan.
(2) Penundaan . . .
- 15 -
(2) Penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam hal Pengguna Jasa:
a. melakukan Transaksi yang patut diduga
menggunakan Harta Kekayaan yang berasal dari
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1);
b. memiliki rekening untuk menampung Harta
Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); atau
c. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan
Dokumen palsu.
(3) Pelaksanaan penundaan Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam berita acara
penundaan Transaksi.
(4) Penyedia jasa keuangan memberikan salinan berita
acara penundaan Transaksi kepada Pengguna Jasa.
(5) Penyedia jasa keuangan wajib melaporkan penundaan
Transaksi kepada PPATK dengan melampirkan berita
acara penundaan Transaksi dalam waktu paling lama 24
(dua puluh empat) jam terhitung sejak waktu
penundaan Transaksi dilakukan.
(6) Setelah menerima laporan penundaan Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) PPATK wajib
memastikan pelaksanaan penundaan Transaksi
dilakukan sesuai dengan Undang-Undang ini.
(7) Dalam hal penundaan Transaksi telah dilakukan sampai
dengan hari kerja kelima, penyedia jasa keuangan harus
memutuskan akan melaksanakan Transaksi atau
menolak Transaksi tersebut.
Paragraf 2
Penyedia Barang dan/atau Jasa lain
Pasal 27
(1) Penyedia barang dan/atau jasa lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b wajib
menyampaikan laporan Transaksi yang dilakukan oleh
Pengguna Jasa dengan mata uang rupiah dan/atau
mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara
dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
kepada PPATK.
(2) Laporan . . .
- 16 -
(2) Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
(3) Penyedia barang dan/atau jasa lain yang tidak
menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi
administratif.
Paragraf 3
Pelaksanaan Kewajiban Pelaporan
Pasal 28
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Pihak Pelapor
dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi
Pihak Pelapor yang bersangkutan.
Pasal 29
Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak
Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik
secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban
pelaporan menurut Undang-Undang ini.
Pasal 30
(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (4) dan Pasal 27 ayat (3) dilakukan
oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal Lembaga Pengawas dan Pengatur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk,
pengenaan sanksi administratif terhadap Pihak Pelapor
dilakukan oleh PPATK.
(3) Sanksi administratif yang dikenakan oleh PPATK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. peringatan;
b. teguran tertulis;
c. pengumuman kepada publik mengenai tindakan
atau sanksi; dan/atau
d. denda administratif.
(4) Penerimaan . . .
- 17 -
(4) Penerimaan hasil denda administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf d dinyatakan sebagai
Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.
Bagian Keempat
Pengawasan Kepatuhan
Pasal 31
(1) Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban pelaporan bagi
Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur
dan/atau PPATK.
(2) Dalam hal Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan atau belum terdapat Lembaga Pengawas dan
Pengatur, Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban
pelaporan dilakukan oleh PPATK.
(3) Hasil pelaksanaan Pengawasan Kepatuhan yang
dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada PPATK.
(4) Tata cara pelaksanaan Pengawasan Kepatuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 32
Dalam hal Lembaga Pengawas dan Pengatur menemukan
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang tidak dilaporkan
oleh Pihak Pelapor kepada PPATK, Lembaga Pengawas dan
Pengatur segera menyampaikan temuan tersebut kepada
PPATK.
Pasal 33
Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib memberitahukan
kepada PPATK setiap kegiatan atau Transaksi Pihak Pelapor
yang diketahuinya atau patut diduganya dilakukan baik
langsung maupun tidak langsung dengan tujuan melakukan
tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
BAB V . . .
- 18 -
BAB V
PEMBAWAAN UANG TUNAI DAN INSTRUMEN PEMBAYARAN LAIN KE DALAM
ATAU KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA
Pasal 34
(1) Setiap orang yang membawa uang tunai dalam mata
uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau
instrumen pembayaran lain dalam bentuk cek, cek
perjalanan, surat sanggup bayar, atau bilyet giro paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau
yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar
daerah pabean Indonesia wajib memberitahukannya
kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib membuat
laporan mengenai pembawaan uang tunai dan/atau
instrumen pembayaran lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan menyampaikannya kepada PPATK
paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya
pemberitahuan.
(3) PPATK dapat meminta informasi tambahan dari
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai
pembawaan uang tunai dan/atau instrumen
pembayaran lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 35
(1) Setiap orang yang tidak memberitahukan pembawaan
uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh
perseratus) dari seluruh jumlah uang tunai dan/atau
instrumen pembayaran lain yang dibawa dengan jumlah
paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang telah memberitahukan pembawaan
uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), tetapi
jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain
yang dibawa lebih besar dari jumlah yang diberitahukan
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 10%
(sepuluh perseratus) dari kelebihan jumlah uang tunai
dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa
dengan jumlah paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
(3) Sanksi . . .
- 19 -
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) yang berkaitan dengan pembawaan uang
tunai diambil langsung dari uang tunai yang dibawa dan
disetorkan ke kas negara oleh Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai.
(4) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus membuat
laporan mengenai pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan
menyampaikannya kepada PPATK paling lama 5 (lima)
hari kerja sejak sanksi administratif ditetapkan.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan
pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran
lain, pengenaan sanksi administratif, dan penyetoran ke kas
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 37
(1) PPATK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya
bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan
pengaruh kekuasaan mana pun.
(2) PPATK bertanggung jawab kepada Presiden.
(3) Setiap Orang dilarang melakukan segala bentuk campur
tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan
PPATK.
(4) PPATK wajib menolak dan/atau mengabaikan segala
bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam
rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
Pasal 38
(1) PPATK berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
(2) Dalam hal diperlukan, perwakilan PPATK dapat dibuka
di daerah.
Bagian . . .
- 20 -
Bagian Kedua
Tugas, Fungsi, dan Wewenang
Pasal 39
PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak
pidana Pencucian Uang.
Pasal 40
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang;
b. pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;
c. pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan
d. analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi
Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana
Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 41
(1) Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, PPATK
berwenang:
a. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari
instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang
memiliki kewenangan mengelola data dan informasi,
termasuk dari instansi pemerintah dan/atau
lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi
tertentu;
b. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi
Keuangan Mencurigakan;
c. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana
Pencucian Uang dengan instansi terkait;
d. memberikan rekomendasi kepada pemerintah
mengenai upaya pencegahan tindak pidana
Pencucian Uang;
e. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam
organisasi dan forum internasional yang berkaitan
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana Pencucian Uang;
f. menyelenggarakan . . .
- 21 -
f. menyelenggarakan program pendidikan dan
pelatihan antipencucian uang; dan
g. menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
(2) Penyampaian data dan informasi oleh instansi
pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau
lembaga swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
Dalam melaksanakan fungsi pengelolaan data dan informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b, PPATK
berwenang menyelenggarakan sistem informasi.
Pasal 43
Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap
kepatuhan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 huruf c, PPATK berwenang:
a. menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara
pelaporan bagi Pihak Pelapor;
b. menetapkan kategori Pengguna Jasa yang berpotensi
melakukan tindak pidana Pencucian Uang;
c. melakukan audit kepatuhan atau audit khusus;
d. menyampaikan informasi dari hasil audit kepada
lembaga yang berwenang melakukan pengawasan
terhadap Pihak Pelapor;
e. memberikan peringatan kepada Pihak Pelapor yang
melanggar kewajiban pelaporan;
f. merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang
mencabut izin usaha Pihak Pelapor; dan
g. menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali
Pengguna Jasa bagi Pihak Pelapor yang tidak memiliki
Lembaga Pengawas dan Pengatur.
Pasal 44 . . .
- 22 -
Pasal 44
(1) Dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau
pemeriksaan laporan dan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 huruf d, PPATK dapat:
a. meminta dan menerima laporan dan informasi dari
Pihak Pelapor;
b. meminta informasi kepada instansi atau pihak
terkait;
c. meminta informasi kepada Pihak Pelapor
berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK;
d. meminta informasi kepada Pihak Pelapor
berdasarkan permintaan dari instansi penegak
hukum atau mitra kerja di luar negeri;
e. meneruskan informasi dan/atau hasil analisis
kepada instansi peminta, baik di dalam maupun di
luar negeri;
f. menerima laporan dan/atau informasi dari
masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana
Pencucian Uang;
g. meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan
pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak
pidana Pencucian Uang;
h. merekomendasikan kepada instansi penegak
hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi
atau penyadapan atas informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
i. meminta penyedia jasa keuangan untuk
menghentikan sementara seluruh atau sebagian
Transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan
hasil tindak pidana;
j. meminta informasi perkembangan penyelidikan dan
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak
pidana asal dan tindak pidana Pencucian Uang;
k. mengadakan kegiatan administratif lain dalam
lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini; dan
l. meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan
kepada penyidik.
(2) Penyedia . . .
- 23 -
(2) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf i harus segera menindaklanjuti setelah
menerima permintaan dari PPATK.
Pasal 45
Dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap PPATK tidak
berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode
etik yang mengatur kerahasiaan.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
kewenangan PPATK diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Akuntabilitas
Pasal 47
(1) PPATK membuat dan menyampaikan laporan
pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya secara
berkala setiap 6 (enam) bulan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Bagian Keempat
Susunan Organisasi
Pasal 48
Susunan organisasi PPATK terdiri atas:
a. kepala;
b. wakil kepala;
c. jabatan struktural lain; dan
d. jabatan fungsional.
Pasal 49
(1) Kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf a mewakili PPATK di dalam dan di luar
pengadilan.
(2) Kepala . . .
- 24 -
(2) Kepala PPATK dapat menyerahkan kewenangan mewakili
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wakil
Kepala PPATK, seorang atau beberapa orang pegawai
PPATK, dan/atau pihak lain yang khusus ditunjuk
untuk itu.
Pasal 50
Kepala PPATK adalah penanggung jawab yang memimpin dan
mengendalikan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang
PPATK.
Pasal 51
Untuk dapat diangkat sebagai Kepala atau Wakil Kepala
PPATK, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan
paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada saat
pengangkatan;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. takwa, jujur, adil, dan memiliki integritas pribadi yang
baik;
e. memiliki salah satu keahlian di bidang ekonomi,
akuntansi, keuangan, atau hukum dan pengalaman
kerja di bidang tersebut paling singkat 10 (sepuluh)
tahun;
f. bukan pemimpin partai politik;
g. bersedia memberikan informasi mengenai daftar Harta
Kekayaan;
h. tidak merangkap jabatan atau pekerjaan lain; dan
i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara.
Pasal 52
(1) Wakil Kepala PPATK bertugas membantu Kepala PPATK.
(2) Wakil Kepala PPATK dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab
kepada Kepala PPATK.
(3) Dalam hal Kepala PPATK berhalangan, Wakil Kepala
PPATK bertanggung jawab memimpin dan
mengendalikan pelaksanaan tugas, fungsi, dan
wewenang PPATK.
Pasal 53 . . .
- 25 -
Pasal 53
Kepala dan Wakil Kepala PPATK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 huruf a dan huruf b diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.
Pasal 54
(1) Kepala dan Wakil Kepala PPATK sebelum memangku
jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut agama dan kepercayaannya di hadapan
Presiden.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbunyi sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya untuk menjadi
Kepala/Wakil Kepala PPATK langsung atau tidak
langsung dengan nama dan dalih apa pun tidak
memberikan atau menjanjikan untuk memberikan
sesuatu kepada siapa pun".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatan ini tidak akan menerima langsung atau tidak
langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau
pemberian dalam bentuk apa pun".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
merahasiakan kepada siapa pun hal-hal yang menurut
peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
melaksanakan tugas dan kewenangan selaku
Kepala/Wakil Kepala PPATK dengan sebaik-baiknya dan
dengan penuh rasa tanggung jawab".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia
terhadap negara, konstitusi, dan peraturan perundangundangan
yang berlaku".
Pasal 55
Kepala dan Wakil Kepala PPATK memegang jabatan selama 5
(lima) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk 1
(satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 56
Jabatan Kepala atau Wakil Kepala PPATK berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan . . .
- 26 -
b. mengundurkan diri;
c. berakhir masa jabatannya; atau
d. diberhentikan.
Pasal 57
(1) Pemberhentian Kepala atau Wakil Kepala PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf d
dilakukan karena:
a. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga
negara Indonesia;
c. menderita sakit terus-menerus yang
penyembuhannya memerlukan waktu lebih dari 3
(tiga) bulan yang tidak memungkinkan
melaksanakan tugasnya;
d. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
e. merangkap jabatan;
f. dinyatakan pailit oleh pengadilan; atau
g. melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2) Dalam hal Kepala dan/atau Wakil Kepala PPATK
menjadi terdakwa tindak pidana yang berkaitan dengan
penyalahgunaan jabatannya, Kepala dan/atau Wakil
Kepala PPATK diberhentikan sementara dari jabatannya.
(3) Dalam hal tuntutan terhadap Kepala dan/atau Wakil
Kepala PPATK menjadi terdakwa dinyatakan tidak
terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, jabatan yang
bersangkttan dipulihkan kembali.
(4) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden.
Pasal 58
(1) Kepala dan Wakil Kepala PPATK berhak memperoleh
penghasilan, hak-hak lain, penghargaan, dan fasilitas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghasilan, hak-hak
lain, penghargaan, dan fasilitas bagi Kepala dan Wakil
Kepala PPATK diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 59 . . .
- 27 -
Pasal 59
Kepala PPATK dapat mengangkat tenaga ahli paling banyak
5 (lima) orang untuk memberikan pertimbangan mengenai
masalah tertentu sesuai dengan bidang keahliannya.
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan
tata kerja PPATK diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kelima
Manajemen Sumber Daya Manusia
Pasal 61
Kepala PPATK adalah pejabat pembina kepegawaian di
lingkungan PPATK.
Pasal 62
(1) Kepala PPATK selaku pejabat pembina kepegawaian
menyelenggarakan manajemen sumber daya manusia
PPATK yang meliputi perencanaan, pengangkatan,
pemindahan, pengembangan, pemberhentian, dan
pemberian remunerasi.
(2) Penyelenggaraan manajemen sumber daya manusia
PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
dan dilaksanakan berdasarkan prinsip meritokrasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen sumber
daya manusia PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Pembiayaan
Pasal 63
Biaya untuk pelaksanaan tugas PPATK dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB VII . . .
- 28 -
BAB VII
PEMERIKSAAN DAN PENGHENTIAN SEMENTARA TRANSAKSI
Pasal 64
(1) PPATK melakukan pemeriksaan terhadap Transaksi
Keuangan Mencurigakan terkait dengan adanya indikasi
tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain.
(2) Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana
Pencucian Uang atau tindak pidana lain, PPATK
menyerahkan Hasil Pemeriksaan kepada penyidik untuk
dilakukan penyidikan.
(3) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penyidik melakukan koordinasi
dengan PPATK.
Pasal 65
(1) PPATK dapat meminta penyedia jasa keuangan untuk
menghentikan sementara seluruh atau sebagian
Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(1) huruf i.
(2) Dalam hal penyedia jasa keuangan memenuhi
permintaan PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pelaksanaan penghentian sementara dicatat dalam
berita acara penghentian sementara Transaksi.
Pasal 66
(1) Penghentian sementara Transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dilaksanakan dalam
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima
berita acara penghentian sementara Transaksi.
(2) PPATK dapat memperpanjang penghentian sementara
Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja untuk
melengkapi hasil analisis atau pemeriksaan yang akan
disampaikan kepada penyidik.
Pasal 67
(1) Dalam hal tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang
mengajukan keberatan dalam waktu 20 (dua puluh) hari
sejak tanggal penghentian sementara Transaksi, PPATK
menyerahkan penanganan Harta Kekayaan yang
diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak
pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan
penyidikan.
(2) Dalam . . .
- 29 -
(2) Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana
tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari,
penyidik dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan
tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada
yang berhak.
(3) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
memutus dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
BAB VIII
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 68
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 69
Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu
tindak pidana asalnya.
Pasal 70
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang
memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan
penundaan Transaksi terhadap Harta Kekayaan yang
diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak
pidana.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas
mengenai:
a. nama dan jabatan yang meminta penundaan
Transaksi;
b. identitas . . .
- 30 -
b. identitas Setiap Orang yang Transaksinya akan
dilakukan penundaan;
c. alasan penundaan Transaksi; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
(3) Penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja.
(4) Pihak Pelapor wajib melaksanakan penundaan Transaksi
sesaat setelah surat perintah/permintaan penundaan
Transaksi diterima dari penyidik, penuntut umum, atau
hakim.
(5) Pihak Pelapor wajib menyerahkan berita acara
pelaksanaan penundaan Transaksi kepada penyidik,
penuntut umum, atau hakim yang meminta penundaan
Transaksi paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal
pelaksanaan penundaan Transaksi.
Pasal 71
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang
memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan
pemblokiran Harta Kekayaan yang diketahui atau patut
diduga merupakan hasil tindak pidana dari:
a. Setiap Orang yang telah dilaporkan oleh PPATK
kepada penyidik;
b. tersangka; atau
c. terdakwa.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas
mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau
hakim;
b. identitas Setiap Orang yang telah dilaporkan oleh
PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa;
c. alasan pemblokiran;
d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan;
dan
e. tempat Harta Kekayaan berada.
(3) Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(4) Dalam . . .
- 31 -
(4) Dalam hal jangka waktu pemblokiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berakhir, Pihak Pelapor wajib
mengakhiri pemblokiran demi hukum.
(5) Pihak Pelapor wajib melaksanakan pemblokiran sesaat
setelah surat perintah pemblokiran diterima dari
penyidik, penuntut umum, atau hakim.
(6) Pihak Pelapor wajib menyerahkan berita acara
pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut
umum, atau hakim yang memerintahkan pemblokiran
paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan
pemblokiran.
(7) Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada
Pihak Pelapor yang bersangkutan.
Pasal 72
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak
pidana Pencucian Uang, penyidik, penuntut umum, atau
hakim berwenang meminta Pihak Pelapor untuk
memberikan keterangan secara tertulis mengenai Harta
Kekayaan dari:
a. orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada
penyidik;
b. tersangka; atau
c. terdakwa.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), bagi penyidik, penuntut umum, atau
hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundangundangan
yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan
Transaksi Keuangan lain.
(3) Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus diajukan dengan menyebutkan secara
jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau
hakim;
b. identitas orang yang terindikasi dari hasil analisis
atau pemeriksaan PPATK, tersangka, atau terdakwa;
c. uraian singkat tindak pidana yang disangkakan
atau didakwakan; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
(4) Permintaan . . .
- 32 -
(4) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
disertai dengan:
a. laporan polisi dan surat perintah penyidikan;
b. surat penunjukan sebagai penuntut umum; atau
c. surat penetapan majelis hakim.
(5) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) harus
ditandatangani oleh:
a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau
kepala kepolisian daerah dalam hal permintaan
diajukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
b. pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam
hal permintaan diajukan oleh penyidik selain
penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal
permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau
penuntut umum; atau
d. hakim ketua majelis yang memeriksa perkara yang
bersangkutan.
(6) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditembuskan kepada PPATK.
Pasal 73
Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana
Pencucian Uang ialah:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara
Pidana; dan/atau
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan
Dokumen.
Bagian Kedua
Penyidikan
Pasal 74
Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh
penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum
acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.
Pasal 75 . . .
- 33 -
Pasal 75
Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang
cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak
pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak
pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian
Uang dan memberitahukannya kepada PPATK.
Bagian Ketiga
Penuntutan
Pasal 76
(1) Penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara
tindak pidana Pencucian Uang kepada pengadilan negeri
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya berkas perkara yang telah
dinyatakan lengkap.
(2) Dalam hal penuntut umum telah menyerahkan berkas
perkara kepada pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan negeri wajib
membentuk majelis hakim perkara tersebut paling lama
3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya berkas perkara
tersebut.
Bagian Keempat
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 77
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan,
terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya
bukan merupakan hasil tindak pidana.
Pasal 78
(1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan
terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan
yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait
dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1).
(2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang
terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait
dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang
cukup.
Pasal 79 . . .
- 34 -
Pasal 79
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut
tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah,
perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya
terdakwa.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya
sebelum putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa
dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan
dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan
dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa
diumumkan oleh penuntut umum pada papan
pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah,
atau diberitahukan kepada kuasanya.
(4) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan
dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa
yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana
Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntut umum
memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah
disita.
(5) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) tidak dapat dimohonkan upaya hukum.
(6) Setiap Orang yang berkepentingan dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 80
(1) Dalam hal hakim memutus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79 ayat (3), terdakwa dapat mengajukan
banding.
(2) Pengajuan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan langsung oleh terdakwa paling lama 7
(tujuh) hari setelah putusan diucapkan.
Pasal 81
Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada
Harta Kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan
jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan Harta
Kekayaan tersebut.
Pasal 82 . . .
- 35 -
Pasal 82
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Korporasi, panggilan
disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus
atau di tempat pengurus berkantor.
BAB IX
PELINDUNGAN BAGI PELAPOR DAN SAKSI
Pasal 83
(1) Pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum,
atau hakim wajib merahasiakan Pihak Pelapor dan
pelapor.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memberikan hak kepada pelapor atau ahli
warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui
pengadilan.
Pasal 84
(1) Setiap Orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak
pidana Pencucian Uang wajib diberi pelindungan khusus
oleh negara dari kemungkinan ancaman yang
membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk
keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian pelindungan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 85
(1) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim,
dan orang lain yang terkait dengan tindak pidana
Pencucian Uang yang sedang dalam pemeriksaan
dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau
hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya
identitas pelapor.
(2) Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan
dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut
umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan
perkara tersebut mengenai larangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 86 . . .
- 36 -
Pasal 86
(1) Setiap Orang yang memberikan kesaksian dalam
pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang wajib diberi
pelindungan khusus oleh negara dari kemungkinan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau
hartanya, termasuk keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian pelindungan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 87
(1) Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut, baik secara
perdata maupun pidana, atas laporan dan/atau
kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.
(2) Saksi yang memberikan keterangan palsu di atas
sumpah dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
BAB X
KERJA SAMA DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 88
(1) Kerja sama nasional yang dilakukan PPATK dengan
pihak yang terkait dituangkan dengan atau tanpa
bentuk kerja sama formal.
(2) Pihak yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pihak yang mempunyai keterkaitan langsung
atau tidak langsung dengan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang di
Indonesia.
Pasal 89
(1) Kerja sama internasional dilakukan oleh PPATK dengan
lembaga sejenis yang ada di negara lain dan lembaga
internasional yang terkait dengan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
(2) Kerja sama internasional yang dilakukan PPATK dapat
dilaksanakan dalam bentuk kerja sama formal atau
berdasarkan bantuan timbal balik atau prinsip
resiprositas.
Pasal 90 . . .
- 37 -
Pasal 90
(1) Dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana Pencucian Uang, PPATK dapat melakukan
kerja sama pertukaran informasi berupa permintaan,
pemberian, dan penerimaan informasi dengan pihak,
baik dalam lingkup nasional maupun internasional,
yang meliputi:
a. instansi penegak hukum;
b. lembaga yang berwenang melakukan pengawasan
terhadap penyedia jasa keuangan;
c. lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara;
d. lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang atau
tindak pidana lain terkait dengan tindak pidana
Pencucian Uang; dan
e. financial intelligence unit negara lain.
(2) Permintaan, pemberian, dan penerimaan informasi
dalam pertukaran informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan atas inisiatif sendiri atau
atas permintaan pihak yang dapat meminta informasi
kepada PPATK.
(3) Permintaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada PPATK diajukan secara tertulis dan
ditandatangani oleh:
a. hakim ketua majelis;
b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau
kepala kepolisian daerah;
c. Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi;
d. pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam
hal permintaan diajukan oleh penyidik, selain
penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
e. pemimpin, direktur atau pejabat yang setingkat,
atau pemimpin satuan kerja atau kantor di lembaga
yang berwenang melakukan pengawasan terhadap
penyedia jasa keuangan;
f. pimpinan lembaga yang bertugas memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
g. pimpinan dari lembaga lain yang terkait dengan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang atau tindak pidana lain terkait
dengan tindak pidana Pencucian Uang; atau
h. pimpinan financial intelligence unit negara lain.
Pasal 91 . . .
- 38 -
Pasal 91
(1) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak
pidana Pencucian Uang, dapat dilakukan kerja sama
bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan
negara lain melalui forum bilateral atau multilateral
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilaksanakan jika negara dimaksud
telah mengadakan perjanjian kerja sama bantuan timbal
balik dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau
berdasarkan prinsip resiprositas.
Pasal 92
(1) Untuk meningkatkan koordinasi antarlembaga terkait
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang, dibentuk Komite Koordinasi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
(2) Pembentukan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 93
Dalam hal ada perkembangan konvensi internasional atau
rekomendasi internasional di bidang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan
pendanaan terorisme, PPATK dan instansi terkait dapat
melaksanakan ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 94
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. PPATK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, ditetapkan sebagai PPATK berdasarkan
Undang-Undang ini.
b. PPATK . . .
- 39 -
b. PPATK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang tetap menjalankan tugas, fungsi, dan
wewenangnya berdasarkan Undang-Undang ini.
c. Susunan organisasi PPATK yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tetap berlaku
sampai terbentuknya susunan organisasi PPATK yang
baru berdasarkan Undang-Undang ini.
d. Kepala dan Wakil Kepala PPATK yang diangkat
berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
tetap menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya
sampai dengan diangkatnya Kepala dan Wakil Kepala
PPATK yang baru paling lambat 1 (satu) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang ini.
e. Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1
Tahun 2004 tetap menjalankan tugas, fungsi, dan
wewenangnya sampai dibentuk Komite Koordinasi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 95
Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan sebelum
berlakunya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
BAB XIII . . .
- 40 -
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 96
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh penyedia barang
dan/atau jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1) dilaksanakan paling lambat 2 (dua) tahun setelah
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 97
Pelaksanaan kewajiban pelaporan Transaksi Keuangan
transfer dana dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c dilaksanakan paling lambat 5
(lima) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 98
Semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 99
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 100
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 41 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 122
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
Setio Sapto Nugroho
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2010
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
I. UMUM
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak
pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil tindak pidananya
susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa
memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah
maupun tidak sah. Karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya
mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem
keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam konsep antipencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat
diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana
tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau
organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat
menurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang memerlukan landasan
hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan
hujum serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak
pidana.
Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan
oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting
khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan
melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit)
sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada
penyidik.
Lembaga . . .
- 2 -
Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakan
hukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risiko
operasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi karena
tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana
untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yang
baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara
optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan
terpercaya.
Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang semakin
kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang
semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan
telah merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial
Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar
internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana
pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations
dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai
perluasan Pihak Pelapor (reporting parties) yang mencakup pedagang
permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor.
Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang perlu
dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral
atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau
melibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi.
Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejak
disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah
yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia
jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga
Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak
hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi
pidana dan/atau sanksi administratif.
Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain
karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih
memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah
hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya
pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya
cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan
kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini.
Untuk . . .
- 3 -
Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar
internasional, perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang. Materi muatan yang terdapat dalam
Undang-Undang ini, antara lain:
1. redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian
Uang;
2. penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana Pencucian Uang;
3. pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi
administratif;
4. pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
5. perluasan Pihak Pelapor;
6. penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau
jasa lainnya;
7. penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;
8. pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda
Transaksi;
9. perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap
pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau
ke luar daerah pabean;
10. pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk
menyidik dugaan tindak pidana Pencucian Uang;
11. perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau
pemeriksaan PPATK;
12. penataan kembali kelembagaan PPATK;
13. penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk
menghentikan sementara Transaksi;
14. penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian
Uang; dan
15. pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari
tindak pidana.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 . . .
- 4 -
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyuapan” adalah penyuapan
sebagaimana dimaksud dalam undang- undang mengenai
tindak pidana suap.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “penyelundupan tenaga kerja”
adalah penyelundupan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang mengenai penempatan dan
perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “penyelundupan migran” adalah
penyelundupan migran sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai keimigrasian.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “perdagangan orang” adalah
perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan undang-undang
mengenai pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Huruf m . . .
- 5 -
Huruf m
Yang dimaksud dengan “perdagangan senjata gelap” adalah
perdagangan senjata gelap sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang
mengubah "Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen"
(Staatsblad 1948: 17) dan Undang-Undang Republik
Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran
dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Yang dimaksud dengan “penculikan” adalah penculikan
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Yang dimaksud dengan “prostitusi” adalah prostitusi
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan undang-undang mengenai
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Huruf x
Cukup jelas.
Huruf y . . .
- 6 -
Huruf y
Cukup jelas.
Huruf z
Cukup jelas.
Berdasarkan ketentuan ini, maka dalam menentukan hasil tindak
pidana, Undang-Undang ini menganut asas kriminalitas ganda
(double criminality).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “patut diduganya” adalah suatu kondisi
yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau
tujuan pada saat terjadinya Transaksi yang diketahuinya yang
mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Korporasi mencakup juga kelompok yang terorganisasi yaitu
kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih,
yang eksistensinya untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan
tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur
dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan
finansial atau non-finansial baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7 . . .
- 7 -
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Ketentuan ini termasuk sebagai ketentuan mengenai rahasia
jabatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Ketentuan ini dikenal sebagai “anti-tipping off”. Ketentuan dalam
ayat ini dimaksudkan agar Pengguna Jasa tidak memindahkan
Harta Kekayaannya sehingga mempersulit penegak hukum untuk
melakukan pelacakan terhadap Pengguna jasa dan Harta
Kekayaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ”anti-tipping off” berlaku pula bagi pejabat atau pegawai
PPATK serta pejabat atau pegawai Lembaga Pengawas dan
Pengatur untuk mencegah Pengguna Jasa yang diduga sebagai
pelaku kejahatan melarikan diri dan Harta Kekayaan yang
bersangkutan dialihkan sehingga mempersulit proses penyidikan
tindak pidana.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14 . . .
- 8 -
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam pengertian “penyedia jasa keuangan”
adalah Setiap Orang yang menyediakan jasa di bidang
keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan
baik secara formal maupun nonformal.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyedia barang dan/atau jasa
lain” meliputi baik berizin maupun tidak berizin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menerapkan prinsip mengenali Pengguna
Jasa” adalah Customer Due Dilligence (CDD) dan Enhanced Due
Dilligence (EDD) sebagaimana dimaksud dalam Rekomendasi 5
Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “identifikasi Pengguna Jasa”
termasuk pemutakhiran data Pengguna Jasa.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c . . .
- 9 -
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundangundangan”
antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Lembaga
Pengawas dan Pengatur seperti Peraturan Bank Indonesia (PBI)
dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hubungan usaha” termasuk hubungan
rekening koran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Pada dasarnya, Transaksi Keuangan Mencurigakan diawali
dari Transaksi antara lain:
1) tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas;
2) menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif
besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar
kewajaran; atau
3) aktivitas Transaksi nasabah di luar kebiasaan dan
kewajaran.
Apabila . . .
- 10 -
Apabila Transaksi-Transaksi yang tidak lazim tersebut
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 5, Transaksi tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang wajib dilaporkan.
Sedangkan terhadap Transaksi atau aktivitas di luar
kebiasaan dan kewajaran sebagaimana tersebut di atas,
penyedia jasa keuangan diminta memberikan perhatian
khusus atas semua Transaksi yang kompleks, tidak biasa
dalam jumlah besar, dan semua pola Transaksi tidak biasa,
yang tidak memiliki alasan ekonomis yang jelas dan tidak
ada tujuan yang sah. Latar belakang dan tujuan Transaksi
tersebut harus, sejauh mungkin diperiksa, temuan-temuan
yang didapat dibuat tertulis, dan tersedia untuk membantu
pihak berwenang dan auditor.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan Transaksi dengan pemerintah adalah
Transaksi yang menggunakan rekening pemerintah, dan
dilakukan untuk dan atas nama pemerintah yaitu
pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian,
lembaga pemerintah non-kementerian atau badan-badan
pemerintah lainnya, namun tidak termasuk badan usaha
milik negara/daerah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Transaksi lain” adalah Transaksi-
Transaksi yang dikecualikan sesuai dengan karakteristiknya
selalu dilakukan dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang
besar, misalnya setoran rutin oleh pengelola jalan tol atau
pengelola supermarket.
Selain . . .
- 11 -
Selain berdasarkan jenis transaksi, Kepala PPATK dapat
menetapkan transaksi lain yang dikecualikan berdasarkan
besarnya jumlah transaksi, bentuk atau wilayah kerja Pihak
Pelapor tertentu. Pemberlakukan pengecualian tersebut
dapat dilakukan baik untuk waktu yang tidak terbatas
(permanen) maupun untuk waktu tertentu.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar data atau informasi mengenai
Transaksi yang dikecualikan tersebut dapat diteliti atau diperiksa
oleh PPATK untuk keperluan analisis.
Rincian daftar Transaksi yang wajib dibuat dan disimpan pada
dasarnya sama dengan Transaksi tunai yang seharusnya
dilaporkan kepada PPATK. Daftar dapat dibuat dalam bentuk
elektronik sepanjang dapat dijamin bahwa data atau informasi
tersebut tidak mudah hilang atau rusak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar penyedia jasa keuangan dapat
sesegera mungkin melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan
agar Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana
dan pelaku Pencucian Uang dapat segera dilacak. Unsur Transaksi
Keuangan Mencurigakan adalah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 5 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 12 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Hal ini berarti paling lama pada hari kerja kelima penundaan
transaksi dilakukan, penyedia jasa keuangan harus memutuskan
akan melaksanakan Transaksi atau menolak Transaksi tersebut.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Yang dimaksud dengan “dituntut secara perdata” antara lain adalah
tuntutan ganti rugi.
Yang dimaksud dengan “dituntut secara pidana” antara lain tuntutan
pencemaran nama baik.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Dengan demikian, terhadap Pihak Pelapor yang telah memiliki
Lembaga Pengawas dan Pengatur ada 2 (dua) pintu Pengawasan
Kepatuhan, yaitu oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau
PPATK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
- 13 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cek, cek perjalanan (travellers cheque), surat sanggup bayar, atau
bilyet giro yang dikenal sebagai Bearer Negotiable Instruments.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “melakukan segala bentuk campur tangan”
adalah perbuatan atau tindakan dari pihak mana pun yang
mengakibatkan berkurangnya kebebasan PPATK untuk dapat
melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40 . . .
- 14 -
Pasal 40
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pengawasan kepatuhan dilakukan oleh PPATK terhadap Pihak
Pelapor yang belum memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur,
atau terhadap Pihak Pelapor yang pengawasannya telah
diserahkan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur kepada PPATK.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah” antara lain
Direktorat Jenderal Pajak dan Pusat Pembina Akuntan dan
Jasa Penilai Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Yang dimaksud dengan “lembaga swasta” antara lain
asosiasi advokat, asosiasi notaris, dan asosiasi akuntan.
Yang dimaksud “profesi tertentu” antara lain advokat,
konsultan bidang keuangan, notaris, pejabat pembuat akta
tanah, dan akuntan independen.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g . . .
- 15 -
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah
dan/atau lembaga swasta tidak memerlukan izin siapa pun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Yang dimaksud dengan “menyelenggarakan sistem informasi” antara
lain:
a. membangun, mengembangkan, dan memelihara sistem aplikasi;
b. membangun, mengembangkan, dan memelihara infrastruktur
jaringan komputer dan basis data;
c. mengumpulkan, mengevaluasi data dan informasi yang diterima
oleh PPATK secara manual dan elektronik;
d. menyimpan, memelihara data dan informasi ke dalam basis data;
e. menyajikan informasi untuk kebutuhan analisis;
f. memfasilitasi pertukaran informasi dengan instansi terkait baik
dalam negeri maupun luar negeri; dan
g. melakukan sosialisasi penggunaan sistem aplikasi kepada Pihak
Pelapor.
Pasal 43
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Audit khusus dapat dilakukan terhadap:
1. penyedia jasa keuangan yang pengawasan kepatuhan atas
kewajiban pelaporan bagi penyedia jasa keuangan tersebut
dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau
PPATK;
2. penyedia jasa keuangan berdasarkan permintaan lembaga
atau instansi yang berwenang meminta informasi kepada
PPATK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf d . . .
- 16 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Permintaan informasi dari instansi penegak hukum atau
mitra kerja di luar negeri dalam ketentuan ini dilakukan
sepanjang tidak mengganggu kepentingan nasional dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang hubungan luar negeri dan perjanjian internasional.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain
yang terkait dengan dugaan tindak pidana Pencucian Uang,
dapat berupa melakukan audit khusus baik yang dilakukan
sendiri oleh PPATK maupun dilakukan bersama-sama
dengan Lembaga Pengawas dan Pengatur.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i . . .
- 17 -
Huruf i
Permintaan PPATK kepada penyedia jasa keuangan untuk
menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi
yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak
pidana, dilakukan untuk pemeriksaan.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Yang dimaksud dengan “kerahasiaan” antara lain rahasia bank,
rahasia non-bank, dan sebagainya.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan, DPR RI sewaktuwaktu
berhak meminta laporan PPATK.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 18 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pekerjaan lain”
adalah pekerjaan yang berpotensi mempengaruhi pelaksanaan
tugas dan menimbulkan konflik kepentingan.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59 . . .
- 19 -
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan Hasil Pemeriksaan PPATK diserahkan kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia dan
tembusannya disampaikan kepada penyidik lain sesuai
kewenangannya berdasarkan Undang-Undang ini.
Ayat (3)
Dalam ketentuan ini koordinasi juga dilakukan diantara penyidik
tindak pidana asal yang memperoleh Hasil Pemeriksaan PPATK.
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”menghentikan sementara seluruh atau
sebagian Transaksi” adalah tidak melaksanakan Transaksi yang
diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69 . . .
- 20 -
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan
tahap pemeriksaan, yakni pada tahap penyidikan kewenangan
pada penyidik, pada tahap penuntutan kewenangan pada
penuntut umum, dan kewenangan hakim pada tahap pemeriksaan
di sidang pengadilan.
Ayat (2)
Surat permintaan pemblokiran yang dikirimkan kepada penyedia
jasa keuangan tersebut harus ditandatangani oleh:
a. koordinator penyidik/ketua tim penyidik untuk tingkat
penyidikan;
b. kepala kejaksaan negeri untuk tingkat penuntutan;
c. hakim ketua majelis untuk tingkat pemeriksaan pengadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundangundangan”
juga termasuk ketentuan mengenai kerahasiaan yang
berlaku bagi Pihak Pelapor.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
- 21 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dalam hal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau
kepala kepolisian daerah, atau pimpinan instansi atau lembaga
atau komisi, atau Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi
berhalangan, penandatanganan dapat dilakukan oleh pejabat yang
ditunjuk.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat
dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk
melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika
Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak
pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang
cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan
penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dalam pelaksanaan
peradilannya dapat berjalan dengan lancar, maka jika
terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di
sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara tersebut tetap
diperiksa tanpa kehadiran terdakwa.
Ayat 2 . . .
- 22 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah agar ahli waris dari
terdakwa menguasai atau memiliki Harta Kekayaan yang berasal
dari tindak pidana. Disamping itu sebagai usaha untuk
mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut
telah merugikan keuangan Negara.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “harus dilakukan langsung oleh terdakwa”
adalah terdakwa harus hadir dan menandatangani sendiri akta
pernyataan banding di pengadilan negeri yang memutus perkara
tersebut.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelapor” adalah setiap orang yang
beritikad baik dan secara sukarela menyampaikan laporan
terjadinya dugaan tindak pidana Pencucian Uang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86 . . .
- 23 -
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kerja sama formal” antara lain nota
kesepahaman atau memorandum of understanding.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup Jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah
undang-undang yang mengatur mengenai bantuan timbal balik
dalam masalah pidana dan undang-undang yang mengatur
mengenai perjanjian internasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Ketentuan ini dimaksudkan agar PPATK dan instansi terkait dapat
menetapkan ketentuan sesuai dengan perkembangan konvensi
internasional atau rekomendasi internasional di bidang pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang, antara lain
mengeluarkan ketentuan atau pedoman mengenai penerapan program
antipencucian uang bagi penyedia jasa keuangan.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96 . . .
- 24 -
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5164